DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Nasruddin alias Nyak Dhien Gajah, menyebut arah perjuangan Aceh pascaperdamaian semakin terarah di bawah kepemimpinan Tgk. H. Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fad).
Ia menilai, setelah hampir dua dekade penandatanganan MoU Helsinki, perwujudan perdamaian Aceh semakin nyata melalui penguatan program-program reintegrasi dan pemberdayaan ekonomi.
“Di bawah komando Mualem dan dukungan strategis Dek Fad, arah perjuangan Aceh semakin jelas. Rakyat disasar, korban konflik dipulihkan, dan rekonsiliasi makin terasa,” ujar Nasruddin kepada Dialeksis.com, Sabtu (2/8/2025).
Nasruddin, eks kombatan Wilayah IV Pidie yang pernah ditahan di Lapas Benteng Sigli selama masa darurat militer, mengungkapkan bahwa perdamaian tidak cukup dijaga, tetapi juga harus dirawat. Ia menilai salah satu aktor penting dalam perawatan perdamaian adalah Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Di bawah kepemimpinan Jamaluddin, S.H., M.Kn., BRA disebutnya semakin responsif dan menyentuh langsung kebutuhan riil para mantan kombatan, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik.
Program-program seperti rumah layak huni, pelatihan kerja, dan pemberdayaan ekonomi dinilai berhasil menyentuh lapisan masyarakat terdampak secara lebih luas dan tepat sasaran.
“BRA hari ini bukan sekadar lembaga administratif, tapi garda terdepan dalam membumikan makna damai. Programnya konkrit dan berdampak,” ungkap Nasruddin yang kini aktif sebagai tokoh masyarakat.
Nasruddin juga menyinggung pentingnya kesinambungan kepemimpinan lokal dalam menjaga perdamaian Aceh.
Ia menilai keberadaan tokoh seperti Mualem sebagai simbol perjuangan serta Dek Fad sebagai generasi muda yang memahami dinamika birokrasi dan aspirasi publik, menjadi kombinasi strategis dalam mengawal implementasi butir-butir MoU Helsinki.
“Perjuangan hari ini bukan lagi dengan senjata, tapi dengan kebijakan dan program nyata untuk rakyat. Yang penting, jangan biarkan sejarah kekerasan terulang,” tegasnya.
Nasruddin merupakan satu dari sekian banyak eks kombatan yang kini menjadi bagian aktif dalam upaya rekonsiliasi. Ia ditahan selama tiga tahun dan dibebaskan setelah tsunami 2004, kemudian menjadi saksi hidup dari proses transisi damai yang disebutnya penuh tantangan namun penuh harapan.
“Saya dipenjara, tapi saya tidak dendam. Saya justru belajar bahwa damai itu kerja bersama. Negara harus hadir bukan hanya lewat MoU, tapi lewat rumah, kerja, dan masa depan bagi korban konflik. Aceh makin terarah. Damai makin berakar. Yang tersisa kini adalah komitmen kita bersama agar perjuangan panjang ini tidak sia-sia. Bahwa luka bisa sembuh, dan bahwa sejarah tidak harus terus diulang," tutup Nasruddin. [nh]