DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sudah hampir dua dekade sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki, yang salah satunya menegaskan kewenangan pertanahan akan sepenuhnya menjadi milik Aceh.
Namun sampai hari ini, pelimpahan tersebut tak kunjung terealisasi. Mantan Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, menyebut ketidakjelasan ini sebagai bentuk stagnasi yang bertolak belakang dengan semangat otonomi khusus Aceh.
"Jika kita berujuk kepada kesepahaman perdamaian yang kemudian dikejawantahkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), kewenangan pertanahan seluruhnya diserahkan kepada Aceh," ujar Muhammad MTA dalam keterangan unggahan di media sosial Facebook yang dilansir media dialeksis.com, Jumat (1/8/2025).
Menurutnya, pelimpahan kewenangan pertanahan adalah bagian dari komitmen desentralisasi yang fundamental, bukan hanya simbolis.
Ia menekankan bahwa hal ini bukan sebatas teknis administratif, melainkan menyangkut kemampuan Aceh untuk mengelola kebijakan pembangunan yang mandiri dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
"Pelimpahan kewenangan ini sebenarnya salah satu bentuk desentralisasi di bidang pertanahan bagi Aceh, dalam rangka mengurus diri sendiri untuk kebijakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Muhammad MTA mengingatkan bahwa Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 Tahun 2015, yang mempertegas pelimpahan kewenangan tersebut.
Bahkan, dalam Perpres itu disebutkan bahwa seluruh kewenangan dan perangkat Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Aceh.
"Jika kita melihat isi Perpres, sangat jelas bahwa BPN dengan segenap kewenangan dan perangkatnya diserahkan kepada Aceh, menjadi perangkat kerja Aceh. Tapi apa yang terjadi? Sampai sekarang tidak pernah dilaksanakan," ujarnya.
Kejanggalan lain yang disoroti adalah status Dinas Pertanahan Aceh, yang dibentuk sebagai perangkat kerja Pemerintah Aceh, tetapi pengangkatan kepala dinasnya (kadis) tetap harus atas persetujuan menteri terkait di pusat.
"Bahkan pembentukan Dinas Pertanahan Aceh sendiri, kepala dinasnya atas persetujuan menteri atas usulan Gubernur Aceh. Ini bentuk lain dari inkonsistensi terhadap semangat otonomi khusus," tukasnya.
Dalam pandangan Muhammad MTA, saat ini adalah momentum strategis untuk merealisasikan pelimpahan kewenangan pertanahan kepada Aceh.
Dengan kepemimpinan baru baik di tingkat nasional maupun daerah, ada harapan bagi komitmen lama untuk ditegakkan kembali.
"Momen pemerintahan periode baru ini tentu menjadi waktu yang tepat untuk merealisasikan komitmen kebijakan strategis ini. Pelimpahan kewenangan pertanahan akan menjadi salah satu jaminan fiskal yang simultan bagi Aceh," jelasnya.
Menurut MTA, tanpa penyerahan kewenangan total, potensi fiskal Aceh dalam sektor pertanahan akan terus menjadi angan-angan belaka.
Padahal, dengan kontrol penuh atas sektor pertanahan, Aceh bisa melakukan inovasi kebijakan dan integrasi data pertanahan yang lebih akurat dan berpihak ke masyarakat lokal.
"Aceh bisa melakukan berbagai inovasi strategis pembangunan bidang pertanahan bersama kabupaten/kota, untuk jaminan fiskal dan kontrol sistematis-terpadu jangka panjang," ungkapnya.
Ia berharap agar Pemerintah Pusat tidak lagi mengabaikan kesepakatan perdamaian yang telah menjadi dasar hukum dan moral dalam hubungan pusat-daerah.
"Tanpa penyerahan kewenangan total bidang pertanahan kepada Aceh, maka potensi fiskal Aceh bidang pertanahan masih utopis. Semoga...," pungkasnya.