Senin, 21 April 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Pakar Hukum Soroti Potensi Konflik Kewenangan dalam RUU KUHAP di Seminar Nasional USK

Pakar Hukum Soroti Potensi Konflik Kewenangan dalam RUU KUHAP di Seminar Nasional USK

Jum`at, 18 April 2025 07:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK) gelar seminar nasional bertajuk “Rancangan Undang-Undang KUHAP yang Partisipatif, Kolaboratif, dan Transparan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan” di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK, Kamis (17/4/2025). Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar Seminar Nasional bertajuk “Rancangan Undang-Undang KUHAP yang Partisipatif, Kolaboratif, dan Transparan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan” di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK, Kamis (17/4/2025). 

Acara ini dihadiri 100 peserta dari akademisi, praktisi hukum, instansi pemerintah, hingga aparat penegak hukum, menyoroti urgensi penyusunan RUU KUHAP yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia (HAM) sebelum diberlakukan pada 2026.

RUU KUHAP, yang direncanakan menjadi dasar hukum formil pengganti KUHP baru (UU No. 1/2023), dinilai mengandung sejumlah pasal kontroversial. Empat narasumber terkemuka, termasuk mantan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dan Guru Besar Hukum USK Prof. Rizanizarli, memaparkan analisis kritis terkait risiko penyalahgunaan wewenang, lemahnya perlindungan saksi, serta potensi tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum.

Laode M. Syarif mengingatkan, RUU KUHAP berpeluang menjadi alat represi jika tidak dirancang transparan. “Perpanjangan masa penahanan penyidik dari 20 menjadi 40 hari, atau penangkapan lebih dari satu hari dalam kondisi tertentu, bisa membuka pintu penahanan tanpa batas waktu. Ini ancaman serius bagi kebebasan sipil,” tegasnya.

Sementara Dr. Alpi Sahari (Universitas Sumatera Utara) mengkritik pasal Dominus Litis yang memberi kewenangan penuh ke Kejaksaan dalam penuntutan. 

Menurutnya, klausa ini berpotensi mengembalikan sistem hukum kolonial Belanda dan melemahkan sistem peradilan terpadu. “Dominus Litis tak boleh dimaknai sebagai pemisahan kewenangan, melainkan pembagian dalam kerangka Integrated Criminal Justice System,” ujarnya.

Prof. Rizanizarli menambahkan, pembagian kewenangan antara Polri dan Kejaksaan harus disertai mekanisme check and balance yang ketat.

“Kekuasaan yang menumpuk di satu lembaga rentan disalahgunakan. Revisi KUHAP harus meninggalkan warisan HIR kolonial yang sudah tidak relevan,” tegasnya.

Dr. Syahrul Rizal (Sekretaris DPC Peradi Aceh) menyoroti ketidakjelasan definisi “itikad baik” dalam pasal yang melindungi advokat dari tuntutan hukum. 

“Tanpa definisi baku, klausa ini bisa jadi pasal karet untuk kriminalisasi pengacara yang kritis,” ujarnya.

Peserta seminar, termasuk perwakilan LSM lokal, mendesak pemerintah membuka draf RUU KUHAP untuk uji publik di daerah. “RUU ini bukan hanya urusan elite Jakarta. Masyarakat di daerah yang kerap mengalami ketimpangan hukum harus dilibatkan,” seru salah satu peserta.

Laode M. Syarif menutup diskusi dengan pesan tegas: “Jika tidak hati-hati, RUU KUHAP bisa jadi instrumen legal untuk kriminalisasi, intimidasi, dan pembungkaman suara publik. Negara hukum harus dibangun atas transparansi, bukan ketakutan.”

Seminar ini menyepakati rekomendasi agar RUU KUHAP memastikan mekanisme partisipasi publik, mempertegas batas kewenangan lembaga, dan menjamin perlindungan HAM. Dengan tenggat waktu 2026, para ahli mengingatkan: pembaruan hukum acara pidana adalah fondasi masa depan keadilan Indonesia. Jika gagal melibatkan suara rakyat, hukum hanya akan menjadi menara gading yang jauh dari cita-cita keadilan sosial.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar