DIALEKSIS.COM | Aceh - Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh sejak akhir November 2025 memaksa berbagai pihak bergerak cepat. Di luar peran pemerintah dan lembaga kemanusiaan, sejumlah partai politik turut hadir di lapangan pada masa tanggap darurat.
Jejak digital pemberitaan Dialeksis sepanjang 27 November hingga 25 Desember 2025 mencatat keterlibatan aktif Partai Golkar, PKS, Gerindra, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PSI, dan Partai Aceh dalam penanganan awal bencana.
Kehadiran partai-partai tersebut umumnya diwujudkan melalui pembukaan posko bantuan, pengiriman logistik, hingga dapur umum bagi warga terdampak. Di beberapa daerah yang akses jalannya terputus, relawan partai ikut membantu distribusi bantuan menggunakan jalur alternatif, termasuk melalui sungai dan jalan desa yang rusak parah.
PDI Perjuangan, misalnya, menyalurkan bantuan logistik dalam jumlah besar melalui struktur partai di tingkat kabupaten dan kota. Partai Solidaritas Indonesia memfokuskan bantuan pada wilayah terpencil yang sulit dijangkau, sementara Partai Golkar mengerahkan dukungan logistik lintas daerah, termasuk dari DPD di luar Aceh.
PKS, Gerindra, dan Partai Demokrat juga tercatat aktif membuka posko tanggap darurat dan mengirimkan kebutuhan pokok bagi pengungsi. Di tingkat lokal, Partai Aceh memanfaatkan jejaring akar rumput untuk menjangkau desa-desa terdampak.
Merespon terkait hal tersebut, dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Dr. Teuku Kemal Fasya, menilai keterlibatan partai politik dalam situasi bencana adalah sesuatu yang tak terelakkan, terutama ketika negara dinilai belum sepenuhnya hadir secara cepat dan efektif. Menurut dia, dalam kondisi darurat, masyarakat tidak bisa menunggu prosedur birokrasi yang panjang.
“Ketika bencana berlangsung berhari-hari dan kondisi warga belum membaik, ruang itu akan diisi oleh siapa pun yang punya sumber daya, termasuk partai politik,” kata Kemal kepada Dialeksis.
Namun, ia mengingatkan bahwa kerja-kerja kemanusiaan tidak boleh berhenti pada fase darurat semata. Negara, terutama pemerintah pusat, harus mengambil alih secara sistematis agar bantuan tidak bersifat sporadis dan tergantung pada kepentingan politik jangka pendek.
Pandangan serupa disampaikan akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada. Ia menilai kehadiran partai politik di lokasi bencana bisa memberi dampak positif jika dijalankan dengan prinsip kemanusiaan dan koordinasi yang jelas. Masalah muncul ketika bantuan tidak terintegrasi dengan sistem penanggulangan bencana pemerintah.
“Partai politik punya jaringan dan sumber daya, itu keunggulan mereka. Tapi tanpa koordinasi, bantuan bisa menumpuk di satu titik dan absen di titik lain,” ujar Aryos. Ia juga menekankan pentingnya transparansi agar publik dapat membedakan antara kerja kemanusiaan dan aktivitas pencitraan politik.
Sementara itu, Dosen FISIP UIN Ar-Raniry, Reza Indria, MA., Ph.D., melihat fenomena ini sebagai cerminan lemahnya tata kelola kebencanaan jangka panjang di Aceh. Menurutnya, partisipasi partai politik kerap muncul karena adanya kekosongan negara dalam fase awal bencana, terutama dalam hal distribusi cepat dan perlindungan kelompok rentan.
“Yang perlu dikritisi bukan semata kehadiran partai politik, melainkan mengapa negara selalu terlambat di banyak kasus bencana,” kata Reza.
Ia menilai momentum pascabencana seharusnya digunakan untuk mendorong agenda yang lebih substansial, seperti mitigasi risiko, perbaikan tata ruang, dan penguatan kapasitas pemerintah daerah menghadapi bencana berulang.
Ketiga akademisi tersebut sepakat bahwa keterlibatan partai politik dalam masa tanggap darurat dapat membantu meringankan beban warga. Namun, keberlanjutan penanganan bencana tetap harus berada di bawah kendali negara dengan perencanaan yang jelas, akuntabel, dan berorientasi jangka panjang. Tanpa itu, bencana akan terus berulang, sementara bantuan hanya datang sesaat ketika krisis sudah terjadi. [ra]