DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Persoalan pembongkaran baliho milik PT Multigrafindo Mandiri oleh Pemerintah Kota Banda Aceh terus menuai perhatian.
Kuasa hukum perusahaan, Raja Inal Manurung, S.H., dari Kantor Hukum Erlanda Juliansyah Putra, S.H., M.H., menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Pemko Banda Aceh tidak hanya merugikan kliennya, tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar soal konsistensi penerapan aturan
Menurut Raja Inal, pihaknya sedang mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut, termasuk kemungkinan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.
“Kami sedang mempelajari apakah akan membawa kasus ini ke ranah pengadilan. Sebab, apa yang dilakukan Pemko sangat merugikan klien kami yang sudah berusaha dengan taat aturan sejak tahun 2006,” ujarnya dalam keterangan kepada wartawan dialeksis.com, Selasa (9/9/2025).
Raja Inal menjelaskan, sejak 19 tahun terakhir, PT Multigrafindo Mandiri telah menjalankan usaha periklanan di Banda Aceh dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
Kliennya selalu melunasi kewajiban pajak, memperpanjang rekomendasi tahunan, dan membayar sewa titik reklame kepada Pemko Banda Aceh.
“Klien kami memiliki bukti pembayaran pajak, rekomendasi resmi, serta izin sewa titik reklame. Jadi tudingan bahwa klien kami melanggar aturan jelas menyudutkan dan tidak berdasar,” tegasnya.
Ia menyebut, pembongkaran sepihak yang dilakukan Pemko tanpa pemberitahuan sah sebelumnya adalah tindakan sewenang-wenang.
“Bahkan, reklame di Jalan Chik Pante Kulu ukuran 4 x 8 meter yang sudah ber-IMB dan izin sewa titik pun dibongkar tanpa pemberitahuan. Setelah dibongkar pun klien kami tidak diberi penjelasan,” ujarnya.
Kuasa hukum juga menyoroti alasan Pemko Banda Aceh yang menilai baliho tersebut mengganggu estetika kota. Menurutnya, alasan ini tidak logis karena hingga saat ini Pemko belum memiliki masterplan penataan reklame yang jelas.
“Kalau alasannya estetika, estetika yang bagaimana? Apakah ada masterplannya? Ketika klien kami bertanya, pihak Pemko justru mengakui bahwa masterplan belum siap. Ini kan aneh. Bagaimana mungkin pengusaha diminta menyesuaikan dengan aturan yang belum ada?” tanya Raja Inal.
Ia mencontohkan, pada tahun 2008 saat terjadi perubahan masterplan, kliennya siap menyesuaikan dan melakukan pembongkaran.
Namun kali ini, Pemko langsung membongkar tanpa dasar yang jelas, lalu membuat narasi publik bahwa PT Multigrafindo melanggar aturan.
Lebih lanjut, Raja Inal menilai Pemko tidak konsisten dalam menggunakan dasar hukum. Menurutnya, Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 7 Tahun 2012 justru masih memperbolehkan reklame berbentuk bando dengan rekomendasi teknis dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
“Dalam Perwal jelas tertulis tiang reklame boleh dipasang di median jalan dengan syarat estetika, bahkan jenis bando pun bisa diberikan izin asal ada rekomendasi BKPRD. Selama 19 tahun baliho klien kami berdiri tidak pernah ada masalah. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba dibilang melanggar Permen PU Nomor 20/PRT/M/2010? Bukankah Perwal itu produk Pemko sendiri? Ini justru memperlihatkan kontradiksi aturan,” paparnya.
Terkait tudingan tidak membayar pajak sejak April 2025, Raja Inal menegaskan hal itu terjadi bukan karena kelalaian kliennya, melainkan akibat kebijakan Pemko sendiri.
“Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) nomor 0166949 bulan Mei 2025, jatuh temponya 25 Juni 2025. Tapi faktanya klien kami tidak bisa membayar karena sistemnya tidak dibuka. Jika hari ini Pemko menerbitkan tagihan pajak, klien kami siap langsung melunasi,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga mengantongi bukti surat dari Badan Pengelola Keuangan Kota Banda Aceh, nomor 900/576/2025 tertanggal 23 Juni 2025, yang meminta PT Multigrafindo segera membayar sewa titik reklame tahun 2025.
“Surat itu sudah kami penuhi, bahkan Pemko sudah menerbitkan izin sewa titik reklame tahun 2025 melalui surat nomor 900/506/STR/VII/2025. Jadi tidak masuk akal kalau dikatakan klien kami tidak taat aturan,” tambahnya.
Kuasa hukum menegaskan pihaknya telah menyurati Pemko Banda Aceh terkait keberatan atas pembongkaran tersebut, namun hingga kini tidak ada tanggapan.
“Langkah hukum terbuka lebar. Kami sedang mempertimbangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Karena jelas-jelas klien kami dirugikan baik secara finansial maupun reputasi,” tegasnya.
Raja Inal berharap, Pemko Banda Aceh bisa berlaku adil dan transparan dalam menata reklame di kota. “Klien kami tidak keberatan menyesuaikan aturan. Tapi aturan itu harus jelas, konsisten, dan tidak menimbulkan kesan diskriminatif,” pungkasnya. [nh]