DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tepat 20 tahun sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, luka lama konflik Aceh belum sepenuhnya sembuh.
Alih-alih menuntaskan amanat perdamaian, Pemerintah Indonesia dinilai masih abai terhadap kewajiban konstitusional yang dijanjikan dalam kesepakatan bersejarah tersebut.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, menyebut negara belum menunjukkan keseriusan dalam memenuhi poin-poin utama MoU Helsinki.
Menurutnya, keterlambatan, kelalaian, bahkan pengingkaran atas amanat tersebut kini melahirkan kekecewaan mendalam di kalangan korban konflik.
“Dua dekade pasca MoU Helsinki, pemerintah masih belum serius. Pengadilan HAM di Aceh tidak pernah dibentuk, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pun molor, rekomendasi KKR belum ditindaklanjuti, memorialisasi dibangun tanpa suara korban, dan kini militerisasi justru kembali diperkuat. Ini bentuk nyata dari kegagalan negara menjaga janji damai,” ujar Azharul Husna kepada media dialeksis.com, Selasa (19/8/2025).
Dalam kesepakatan Helsinki, terdapat sejumlah amanat penting yang seharusnya diwujudkan pemerintah, mulai dari pembentukan Pengadilan HAM Aceh, KKR, demobilisasi militer, hingga kompensasi bagi korban konflik.
Namun, menurut KontraS, nyaris semua amanat tersebut masih jauh panggang dari api seperti pengadilan HAM Aceh bahwa sesuai amanat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, lembaga ini seharusnya sudah berdiri paling lambat 2007. Hingga kini, realisasinya nihil.
Selain itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh baru terbentuk pada 2016 setelah dorongan kuat masyarakat sipil melalui Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013, itupun dengan keterlambatan hampir satu dekade.
Rekomendasi KKR Aceh dari Laporan temuan KKR yang memuat ribuan kesaksian korban masih belum ditindaklanjuti pemerintah pusat. Jaksa Agung pun belum melakukan penyidikan atas empat kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, sementara Komnas HAM belum merampungkan penyelidikan peristiwa Bumi Flora.
Memorialisasi dalam ini, Alih-alih menghormati suara korban, pemerintah membangun Living Park di bekas lokasi Rumoh Geudong, salah satu situs penyiksaan paling kelam di Aceh -- tanpa melibatkan penyintas.
Pemulihan bermartabat, pemerintah memilih jalur penyelesaian non-yudisial melalui Program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM), yang oleh korban dinilai tidak menjawab kebutuhan keadilan.
Lebih jauh, Azharul menyoroti menguatnya kembali militerisasi di Aceh. Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto meresmikan pembentukan 1 Brigade Infanteri Teritorial Pembangunan di Aceh Tengah serta 5 Batalyon Teritorial Pembangunan di sejumlah daerah lain, termasuk Aceh Timur, Gayo Lues, Nagan Raya, dan Pidie.
“MoU Helsinki justru mengamanatkan demobilisasi militer. Tapi yang terjadi sekarang adalah kebalikannya, militerisasi diperluas. Hal ini bertentangan dengan semangat perdamaian, dan bagi para korban tentu menimbulkan trauma baru,” tegas Azharul.
Atas situasi ini, KontraS bersama Koalisi Masyarakat Sipil Aceh menegaskan sembilan tuntutan penting kepada Pemerintah Indonesia yaitu implementasi menyeluruh MoU Helsinki, bukan setengah hati. Jaminan pendidikan dan kesejahteraan bagi anak-anak korban konflik.
Selain itu, penuntasan pelanggaran HAM berat di Aceh sesuai prinsip keadilan transisional. Tindak lanjut penyelidikan pro-yustisia ke tahap penyidikan oleh Jaksa Agung untuk peristiwa Rumoh Geudong, Simpang KKA, Jambo Keupok, dan Bener Meriah. Penetapan peristiwa Bumi Flora sebagai pelanggaran HAM berat.
Dalam hal ini, pelaksanaan penuh rekomendasi KKR Aceh. Penyelarasan data korban dengan kondisi riil di lapangan. Memorialisasi yang substantif, melibatkan korban, dan tidak menghapus jejak kejahatan negara. Demobilisasi militer dan penghentian militerisasi di Aceh.
Menurut Azharul, 20 tahun damai Aceh seharusnya menjadi momentum refleksi bagi pemerintah, bukan sekadar seremoni peringatan.
Ia menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengungkap kebenaran, mengadili pelaku, memulihkan korban, serta menjamin ketidakberulangan kekerasan.
“Kalau negara benar-benar ingin menjaga perdamaian, jalannya jelas yaitu ungkap kebenaran, tuntut pertanggungjawaban pelaku, berikan pemulihan yang bermartabat, dan hentikan militerisasi. Tanpa itu semua, MoU Helsinki hanya akan dikenang sebagai teks tanpa makna,” pungkas Azharul. [nh]