DIALEKSIS.COM | Jakarta - Rencana penunjukan Letnan Jenderal (Letjen) TNI Djaka Budi Utama -- seorang perwira aktif TNI -- sebagai Dirjen Bea dan Cukai menuai sorotan dari kalangan akademisi. Posisi yang bersifat sipil itu dinilai tidak semestinya diisi oleh prajurit militer aktif, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang TNI.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sunny Ummul Firdaus, menyatakan bahwa penempatan militer aktif di jabatan sipil bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan reformasi birokrasi yang telah lama diperjuangkan sejak era reformasi 1998.
"Dalam penunjukan ini terdapat 3 hal yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, yaitu potensi menyimpang dari prinsip supremasi sipil, melanggar semangat demiliterisasi, dan bertentangan dengan arah reformasi yang menekankan pentingnya birokrasi sipil yang profesional dan bebas dari pengaruh militer," ujar Sunny mengutip kompas.com pada Kamis (22/5/20250.
Sunny mengakui bahwa dalam beberapa kasus, alasan praktis seperti penanganan korupsi menjadi dasar penunjukan militer di lembaga-lembaga strategis.
"Hal ini biasanya dilakukan di sektor rawan seperti kepabeanan karena latar belakang militer dianggap membawa kedisiplinan dan struktur yang ketat," ujarnya.
Namun, ia menegaskan jika penunjukan itu tetap dilakukan, maka langkah tersebut tetap membutuhkan pengawasan yang ekstra ketat.
"Jika penunjukan ini tetap dilakukan, harus ada mekanisme kontrol politik dan administratif yang jelas, termasuk audit independen terhadap kinerja pejabat tersebut," tambahnya.
Ia menyarankan agar pemerintah segera menyusun aturan turunan yang spesifik mengenai kemungkinan keterlibatan prajurit aktif TNI di jabatan sipil, jika memang dianggap perlu.
"Batasan, kriteria, dan evaluasi harus disusun dalam regulasi yang jelas agar dapat mencegah penyalahgunaan politik dan pelemahan birokrasi profesional," tegasnya. [kompas.com]