kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / PILKADA 2024: Saatnya Hapus Stigma Aceh sebagai Daerah Rawan Konflik

PILKADA 2024: Saatnya Hapus Stigma Aceh sebagai Daerah Rawan Konflik

Minggu, 17 November 2024 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan dalam diskusi publik secara daring melalui platform Zoom dengan tajuk Merespon Polemik Kerawanan di Pilkada Aceh yang digelar oleh Jaringan Survei Inisiatif. Foto: Naufal Habibi/Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, menilai sudah tidak relevan lagi melabelkan Aceh sebagai daerah rawan konflik menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Pernyataan ini disampaikannya dalam diskusi publik daring bertajuk "Merespon Polemik Kerawanan di Pilkada Aceh" yang diselenggarakan oleh Jaringan Survei Inisiatif pada 16 November 2024 melalui diskusi virtual.

"Sudah tidak layak dan tidak pantas Aceh dilabelkan sebagai daerah rawan dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi, baik Pemilu maupun Pilkada. Label ini seharusnya dicabut dan dihilangkan oleh institusi pemerintah pusat," tegas Aryos dalam diskusi tersebut.

Kegelisahan Aryos muncul menyusul berbagai pernyataan dari pejabat tinggi negara. Mulai dari Panglima TNI hingga pernyataan Gubernur Lemhannas dalam rapat bersama Komisi I DPR pada 13 November 2024, yang menyebutkan adanya kerawanan dan kerentanan tinggi di Aceh berdasarkan data dari Bawaslu, BSSN, BAIS TNI, dan Polri.

Menurut Aryos, meskipun Aceh memiliki sejarah konflik selama lebih dari tiga dekade, data empiris menunjukkan perkembangan positif dalam pelaksanaan demokrasi di wilayah tersebut.

"Memang benar, transisi dari konflik ke damai di awal pelaksanaan Pilkada Aceh diwarnai tindak kekerasan, pembakaran, dan pengemboman pada Pilkada 2006 dan 2012. Namun, Pilkada 2017, Pemilu 2019, hingga Pemilu 2024 telah berlangsung sukses dengan tingkat partisipasi yang tinggi," jelasnya.

Ia menambahkan, reproduksi narasi konflik yang terus-menerus justru dapat berdampak buruk bagi citra Aceh sebagai suatu daerah yang membangun pasca konflik guna mengejar ketertinggalan dengan provinsi lain. Terlebih, menurutnya, sering terjadi pencampuradukkan antara kasus kriminalitas dengan kerawanan politik yang sebenarnya merupakan dua hal berbeda.

"Ada kecenderungan dari pihak tertentu yang ingin membangun narasi seolah-olah ada masalah besar dalam pelaksanaan Pilkada. Narasi ini bisa digunakan sebagai justifikasi untuk penolakan hasil Pilkada nantinya," ungkap Aryos.

Untuk menyukseskan Pilkada 2024, Aryos menekankan pentingnya partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk para calon kepala daerah dan masyarakat.

"Pilkada Aceh 2024 harus menjadi contoh baik bagi daerah lain. Proses demokrasi yang sukses harus mencerminkan kehendak rakyat dan menjaga kedamaian," jelasnya.

Menanggapi situasi ini menurut Aryos, diperlukan komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menghindari stigmatisasi yang dapat merugikan citra daerah.

“Keberhasilan pelaksanaan pemilu dan pilkada sebelumnya seharusnya menjadi bukti bahwa Aceh telah berhasil mentransformasi diri menjadi wilayah yang kondusif bagi berlangsungnya proses demokrasi,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda