kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Power Sharing: Kunci Sukses Pilkada Aceh 2024

Power Sharing: Kunci Sukses Pilkada Aceh 2024

Selasa, 30 Juli 2024 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

 Muhammad Ridwansyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa. Foto: for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang Pilkada Aceh 2024, isu pembagian kekuasaan atau power sharing menjadi sorotan utama. Seorang akademisi dari Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa menyebut hal ini krusial untuk membangun pemerintahan yang efektif dan akuntabel di Provinsi Aceh.

"Power sharing dalam Pilkada Aceh 2024 sangat penting untuk menyatukan kekuatan politik," ujar Muhammad Ridwansyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa, kepada Dialeksis, Selasa, 30 Juli 2024.

Ridwansyah menekankan pentingnya sinergi antara program hilirisasi pemerintah pusat dengan pemanfaatan sumber daya alam Aceh. 

"Aceh memiliki potensi SDA yang luar biasa, mulai dari minyak dan gas bumi hingga hasil pertanian dan perkebunan. Program hilirisasi bisa menjadi katalis untuk mengoptimalkan potensi ini," jelasnya.

Ia juga menggarisbawahi empat poin krusial dalam peta politik Aceh:

  1. Dominasi Partai Aceh (PA) di 8 kabupaten/kota, menguasai hampir 50 persen Daftar Pemilih Tetap (DPT). "Ini menunjukkan bahwa PA masih memiliki basis massa yang kuat, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi kantong historis perjuangan Aceh," ungkap Ridwansyah.
  2. Kekuatan Golkar di 5 wilayah "groenland", memunculkan urgensi power sharing dengan PA. "Golkar telah menunjukkan penetrasi yang signifikan di wilayah-wilayah yang sebelumnya didominasi partai lokal. Ini menciptakan dinamika baru yang perlu diakomodasi," tambahnya.
  3.  Perlunya penyatuan dua kekuatan politik utama untuk bargaining vertikal dan horizontal. Ridwansyah menjelaskan, "Kolaborasi antara PA dan Golkar bisa menjadi kunci untuk negosiasi yang lebih efektif, baik dengan pemerintah pusat maupun antar daerah di Aceh."
  4. Keharusan Mualem, tokoh sentral PA, melakukan power sharing demi ideologi partai. "Mualem perlu mempertimbangkan langkah strategis ini untuk memastikan visi Aceh yang sejahtera dan bermartabat dapat terwujud," tegas Ridwansyah.

"Tanpa kerjasama dan komunikasi yang baik antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, pembangunan Aceh akan terhambat," tambah Ridwansyah. 

Ia menekankan bahwa power sharing bukan hanya tentang pembagian jabatan, tetapi juga tentang sinkronisasi program pembangunan dan kebijakan.

Pengamat politik dan keamanan dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Aryos Nivada, yang dihubungi terpisah, sependapat. "Power sharing bukan sekadar berbagi kekuasaan, tapi juga tanggung jawab untuk kemajuan Aceh," katanya. Nivada menambahkan, "Kita perlu melihat ini sebagai kesempatan untuk menyelaraskan kepentingan lokal dan nasional, sambil tetap mempertahankan kekhususan Aceh."

Sementara itu, juru bicara Partai Aceh, Nurzahri, enggan berkomentar banyak. "Kami fokus pada program partai untuk kesejahteraan rakyat Aceh," ujarnya singkat. Namun, sumber internal partai yang enggan disebutkan namanya mengindikasikan adanya diskusi intensif di tubuh PA mengenai strategi koalisi menjelang Pilkada.

Pilkada Aceh 2024 diproyeksikan akan menjadi momentum penting dalam lanskap politik lokal. Hasil pemilihan ini akan menentukan arah pembangunan Aceh lima tahun ke depan. "Pilkada ini bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin, tapi juga tentang bagaimana Aceh akan diposisikan dalam konteks pembangunan nasional dan pencapaian kesejahteraan masyarakat," tutup Ridwansyah.

Dengan kompleksitas politik dan sejarah Aceh, power sharing menjadi isu sentral yang perlu diperhatikan semua pihak. Keberhasilan dalam mengelola dinamika ini akan menjadi kunci bagi stabilitas dan kemajuan Aceh di masa depan.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda