DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Firman Noor, MA, PhD, menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu di Aceh harus menjadi momentum rakyat untuk benar-benar menentukan arah demokrasi dan masa depan daerah secara bermartabat.
Hal itu disampaikan dalam Seminar Nasional “Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menuju Pemilu yang Demokratis dan Bermartabat” yang digelar di Aula Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala (USK), Kamis (23/10/2025).
Menurut Firman, pemilu bukan sekadar rutinitas politik lima tahunan, melainkan media pendidikan politik agar masyarakat memahami apa yang sedang dan harus dilakukan dalam proses demokrasi.
“Pemilu adalah ajang people decides rakyat memutuskan arah pemerintahan dan kebijakan negara. Itu bentuk nyata pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana amanat UUD 1945,” ujarnya yang dilansir media dialeksis.com.
Ia menambahkan, pemilu yang demokratis juga menjadi sarana menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances) di antara lembaga negara, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
“Demokrasi sejati adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat,” tegasnya.
Dalam paparannya, Prof. Firman menyoroti gejala elitisasi politik yang kian menguat di Aceh. Menurutnya, kecenderungan ini menciptakan demokrasi elitis, di mana kekuasaan hanya berputar di lingkaran kelompok tertentu.
“Personalitas politik yang terlalu kuat akan memicu personalisasi kekuasaan dan memperlemah demokrasi. Di beberapa daerah, kita bahkan melihat tumbuhnya dinasti politik dan kartel kekuasaan,” jelasnya.
Ia mengingatkan, fenomena ini menggeser orientasi politik dari perjuangan rakyat menuju kepentingan ekonomi elite.
“Demokrasi di Aceh bisa menjadi sekadar prosedural, berjalan sesuai aturan, tapi kehilangan substansi keadilan sosial,” kata Firman.
Prof. Firman juga menegaskan pentingnya pelembagaan partai politik yang berpihak pada rakyat, bukan sekadar mesin pencari kekuasaan. Partai, kata dia, seharusnya berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat dan penjaga moral politik.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya civil society yang kuat dan independen, termasuk media massa, untuk menjaga keseimbangan demokrasi.
“Masyarakat sipil yang solid, kritis, dan independen adalah lahan subur bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat,” ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya peningkatan literasi politik masyarakat Aceh, terutama kalangan muda, agar tidak mudah terjebak pada politik uang atau populisme sesaat.
"Masyarakat yang kuat secara ekonomi dan berpendidikan akan melahirkan demokrasi yang kuat pula,” imbuhnya.
Meski menyoroti sejumlah persoalan, Firman tetap optimistis. Ia menilai, dua dekade pasca-perdamaian Aceh, semangat reformasi masih menjadi modal besar untuk memperkuat institusi politik yang inklusif dan berintegritas.
“Pemilu di Aceh harus menjadi ajang memperluas keadilan dan kesejahteraan bagi semua, bukan sekadar kontestasi kekuasaan,” tegasnya.
Ia berharap penyelenggara pemilu di Aceh dapat menjaga integritas dan profesionalisme agar pesta demokrasi berlangsung damai dan bermartabat.
“Pemilu bukan hanya soal perhitungan suara, tetapi perhitungan nilai. Jika rakyat sadar makna suaranya, maka demokrasi akan menemukan kembali rohnya di Aceh,” tutup Prof. Firman Noor.