Rabu, 27 Agustus 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Prof Husni Jalil: Aceh Harus Menyesuaikan Putusan MK soal Pemilu Terpisah

Prof Husni Jalil: Aceh Harus Menyesuaikan Putusan MK soal Pemilu Terpisah

Selasa, 26 Agustus 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Guru besar hukum Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Husni Jalil, SH., MH. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Aceh, sebagai daerah dengan kekhususan dan otonomi yang dijamin Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), juga tidak luput dari dampak kebijakan baru tersebut.

Guru besar hukum Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Husni Jalil, SH., MH, menilai bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat, sehingga mau tidak mau seluruh daerah, termasuk Aceh, harus menyesuaikan diri.

“Kalau berdampak, ya memang ada, karena pola pelaksanaan pemilu sudah berubah. Tapi karena ini putusan nasional, sifatnya final dan mengikat, maka tidak ada upaya hukum lain. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan dengan keadaan yang baru,” jelas Prof. Husni kepada wartawan dialeksis.com, Selasa (26/8/2025).

Menurut Prof. Husni, salah satu konsekuensi dari pemisahan pemilu ini adalah bertambahnya beban bagi partai politik, baik di tingkat nasional maupun lokal, termasuk partai politik yang beroperasi khusus di Aceh.

“Dulu fokus partai lebih sederhana, hanya mengurus isu nasional dan daerah secara bersamaan. Sekarang dengan pemisahan ini, ada pemilu nasional sendiri, ada pemilu daerah sendiri. Itu artinya partai harus kerja dua kali lebih banyak, dengan anggaran yang tentu saja juga lebih besar,” ungkapnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa hal ini tidak boleh dilihat semata-mata sebagai beban, melainkan sebagai tantangan agar partai lebih matang dalam membangun strategi politik, menyerap aspirasi masyarakat, dan mengkader calon pemimpin yang berkualitas.

Lebih jauh, Prof. Husni mengatakan pentingnya menjaga substansi demokrasi dalam setiap pelaksanaan pemilu, baik di Aceh maupun secara nasional.

“Pemilu itu jangan hanya jadi formalitas. Yang harus dijaga adalah kualitas demokrasi. Jangan sampai politik uang merusak demokrasi kita. Kalau uang yang menentukan, maka yang terpilih belum tentu orang yang berkualitas,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa praktik politik uang akan berujung pada lahirnya wakil rakyat yang minim kapasitas, sehingga tidak mampu membawa aspirasi masyarakat secara benar.

“Kadang-kadang orang punya uang, tapi belum tentu punya kapasitas. Begitu duduk di parlemen, dia tidak bisa membawa aspirasi rakyat. Itu yang harus dihindari,” tambahnya.

Prof. Husni mendorong agar pemilu mendatang di Aceh tidak hanya sekadar ajang perebutan kursi, tetapi benar-benar menghadirkan calon pemimpin yang bisa membawa perubahan.

“Ke depan, kita perlu memberi ruang lebih besar bagi calon-calon berkualitas. Kalau itu dilakukan, maka pembangunan di Aceh akan lebih baik. Demokrasi itu bukan sekadar menang kalah, tapi bagaimana rakyat benar-benar diwakili oleh orang yang punya integritas dan kapasitas,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
17 Augustus - depot
sekwan - polda
bpka