DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak permohonan uji materi terkait perpanjangan masa jabatan Geuchik di Aceh. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa masa jabatan Geuchik tetap mengikuti aturan yang berlaku, yakni enam tahun.
Keputusan ini disambut baik oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa hukum di Universitas Syiah Kuala (USK).
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum USK, Annas Maulana, menilai putusan MK tersebut sudah tepat karena sekaligus menjaga marwah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai lex specialis.
“Menurut kami, putusan MK sudah tepat. Secara tidak langsung, MK telah menjaga marwah undang-undang istimewa yang ada di Aceh. Asas hukum juga menyebutkan lex specialis derogat legi generali, hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Jangan sampai karena keinginan hanya sekelompok pihak lantas mengubah undang-undang khusus milik Aceh,” kata Annas kepada media dialeksis.com, Selasa (19/8/2025).
Ia menegaskan, upaya untuk memperpanjang masa jabatan Geuchik sejatinya bukanlah aspirasi masyarakat luas, melainkan lebih banyak datang dari kepentingan aparat gampong tertentu. Padahal, kata dia, UUPA sudah memberikan kerangka hukum yang jelas untuk penyelenggaraan pemerintahan desa di Aceh.
“Kalau kita lihat, ini bukan murni keinginan masyarakat, melainkan lebih kepada keinginan aparat gampong. Padahal putusan MK ini sudah sesuai dengan keistimewaan Aceh yang tertuang di dalam UUPA,” ujarnya.
Lebih jauh, Annas juga melihat pentingnya regenerasi kepemimpinan di tingkat gampong. Menurutnya, perpanjangan jabatan Geuchik dari enam menjadi delapan tahun berpotensi menghambat lahirnya pemimpin-pemimpin muda yang bisa membawa perubahan di desa.
“Putusan MK ini adalah langkah tepat untuk menjaga prinsip demokrasi di tingkat gampong. Perpanjangan jabatan tanpa dasar yang kuat justru berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan dan melemahkan partisipasi masyarakat dalam proses demokratis, khususnya melemahkan regenerasi pemuda untuk memajukan gampong,” jelasnya.
Ia mengingatkan agar aturan hukum yang sudah jelas dalam UUPA tidak diubah hanya demi kepentingan jabatan. Menurutnya, membiarkan perpanjangan jabatan berlangsung akan menimbulkan preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi lokal di Aceh.
“Jangan sampai terkesan mengubah UUPA hanya demi kepentingan jabatan. Karena kalau itu terjadi, semangat keistimewaan Aceh bisa terganggu, dan partisipasi pemuda dalam memimpin gampong akan terhambat,” tegasnya.
Annas berharap masyarakat Aceh dapat lebih fokus pada penguatan tata kelola gampong yang transparan, akuntabel, dan membuka ruang partisipasi generasi muda.
“Karena sejatinya, demokrasi di tingkat gampong adalah fondasi terkuat bagi keberlanjutan demokrasi di Aceh,” pungkasnya. [nh]