Beranda / Politik dan Hukum / Rentetan Konflik Gubernur dan Wakil Gubernur di Aceh, Apa Solusinya?

Rentetan Konflik Gubernur dan Wakil Gubernur di Aceh, Apa Solusinya?

Kamis, 09 Januari 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

 Yuhdi Fahrimal, S.I.Kom., M.I.Kom., dosen Ilmu Komunikasi UTU. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Harmoni antara gubernur dan wakil gubernur sering kali menjadi tantangan dalam pemerintahan daerah di Indonesia. Aceh menjadi salah satu wilayah yang kerap menyuguhkan drama politik antara pemimpin daerahnya. Dalam tiga periode terakhir, hubungan gubernur dan wakilnya mengalami dinamika yang jauh dari kata harmonis.

Pada periode 2006-2012, Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar dilaporkan terlibat keretakan komunikasi yang berdampak pada efektivitas pemerintahan. Hal serupa kembali terjadi pada pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (2012-2017). Situasi makin memburuk pada periode 2017-2018, ketika hubungan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah mengalami ketegangan tajam.

Fenomena ini mengundang perhatian sejumlah kalangan, termasuk akademisi. Yuhdi Fahrimal, S.I.Kom., M.I.Kom., dosen Ilmu Komunikasi Universitas Teuku Umar (UTU), menilai konflik semacam ini mencerminkan lemahnya komunikasi strategis dalam pemerintahan.

Akar Masalah Konflik

Menurut Yuhdi, ketegangan antara kepala daerah dan wakilnya sering kali bermula dari perbedaan visi, latar belakang politik, hingga distribusi kekuasaan. 

“Banyak pasangan kepala daerah yang terjebak dalam koalisi pragmatis saat pencalonan, tetapi tidak mampu menjaga keselarasan visi setelah terpilih,” ujar Yuhdi kepada Dialeksis.com, Kamis (9/1/2025).

Selain itu, kurangnya mekanisme pengelolaan hubungan kerja antara gubernur dan wakil gubernur turut memperburuk keadaan. “Ketika tidak ada pembagian tugas yang jelas, potensi gesekan semakin besar,” tambahnya.

Dampak dari konflik ini tidak main-main. Menurut Yuhdi, ketidakselarasan antara pemimpin daerah dapat memperlambat pengambilan keputusan, memunculkan kebijakan yang tumpang tindih, hingga melemahkan kepercayaan masyarakat.

Pendekatan Solutif

Untuk mengatasi persoalan ini, Yuhdi mengusulkan sejumlah langkah strategis. Pertama, kepala daerah dan wakilnya perlu membangun forum komunikasi rutin yang difasilitasi pihak independen. 

"Forum ini menjadi ruang untuk menyampaikan aspirasi dan menyelesaikan perbedaan secara konstruktif," ujarnya.

Kedua, perjanjian kerja sama yang spesifik sejak awal masa jabatan menjadi kunci. “Keduanya harus menyepakati pembagian tugas dan tanggung jawab yang tegas sejak awal, sehingga tidak ada ruang untuk saling berebut kewenangan,” kata Yuhdi.

Selain itu, Yuhdi menyarankan program leadership coaching untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan kerja sama antara gubernur dan wakilnya. “Pelatihan ini penting untuk membangun kepercayaan, memperkuat negosiasi, dan mengelola konflik,” tambahnya.

Peran Publik

Tak hanya pemimpin daerah, masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan pemerintahan. Yuhdi menegaskan, “Tekanan publik yang konstruktif dapat menjadi pengingat bagi pemimpin daerah untuk fokus pada tugas utama mereka, yaitu melayani rakyat.”

Dari pengalaman Aceh, tampak jelas bahwa keharmonisan antara gubernur dan wakil gubernur tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa pengelolaan yang matang. Perlu sinergi dari berbagai pihak, baik pemimpin, sistem politik, maupun masyarakat, untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif demi pembangunan daerah yang berkelanjutan. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI