Beranda / Politik dan Hukum / Rotasi dan Kekosongan Jabatan Hambat Pembangunan Aceh

Rotasi dan Kekosongan Jabatan Hambat Pembangunan Aceh

Senin, 13 Januari 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Pengamat politik dan pemerintahan Aceh, Usman Lamreung. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Selama lebih dari dua tahun terakhir, tata kelola pemerintahan di Aceh mengalami stagnasi yang signifikan. 

Baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten, berbagai masalah muncul setelah berakhirnya pemerintahan definitif pada 2022 dan penunjukan Penjabat (Pj) gubernur, wali kota, dan bupati oleh pemerintah pusat. 

Kekosongan sejumlah posisi strategis dalam birokrasi, seperti kepala dinas, eselon 3, dan eselon 4 yang hanya diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt), menjadi salah satu penyebab utama lambatnya pelaksanaan program pembangunan yang telah direncanakan.

Menurut pengamat politik dan pemerintahan Aceh, Usman Lamreung, kekosongan ini menciptakan tantangan besar dalam memastikan keberlanjutan tata kelola pemerintahan.

“Dalam dua tahun terakhir, kita melihat bagaimana kekosongan posisi strategis di pemerintahan berdampak pada kelambatan pelayanan publik, ketidakefisienan penggunaan anggaran, dan minimnya realisasi program pembangunan,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Senin, 13 Januari 2024.

Pergantian Pj gubernur, wali kota, dan bupati yang terus terjadi semakin memperburuk situasi. Usman Lamreung menjelaskan bahwa seringnya rotasi kepala dinas dan maraknya politisasi birokrasi telah menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat. 

“Dominasi lulusan SPDN yang sulit dibatasi serta penunjukan pejabat berdasarkan lobi dan jaringan, bukan kompetensi, memicu persaingan tidak sehat dalam birokrasi. Akibatnya, banyak pejabat yang tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada,” tambahnya.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat karena lemahnya pengelolaan pemerintahan dan semakin sulitnya rakyat menikmati hasil pembangunan yang seharusnya mereka rasakan. 

“Politisasi birokrasi adalah ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Kita butuh reformasi struktural yang nyata,” tegas Usman.

Stagnasi tata kelola selama dua tahun terakhir juga akan memberikan dampak jangka panjang terhadap proses pembangunan di Aceh. 

Usman Lamreung mengingatkan bahwa jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, pemerintahan Aceh akan semakin tertinggal dalam mengejar target pembangunan daerah yang telah ditetapkan. 

“Kita sudah kehilangan momentum dalam dua tahun terakhir. Pemerintahan baru harus bekerja ekstra keras untuk mengejar ketertinggalan ini,” ungkapnya.

Usman berharap Pilkada mendatang menjadi titik balik bagi Aceh untuk memulai era baru pemerintahan yang lebih baik. 

“Rakyat Aceh membutuhkan pemimpin yang tidak hanya visioner, tetapi juga mampu membawa perubahan nyata. Ini adalah momen bagi kita semua untuk memastikan Aceh memiliki pemerintahan yang kuat, transparan, dan akuntabel,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI