Sabtu, 27 Desember 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Sebulan Pascabencana Aceh Hak Korban Terancam, Masyarakat Sipil Surati Dewan HAM PBB

Sebulan Pascabencana Aceh Hak Korban Terancam, Masyarakat Sipil Surati Dewan HAM PBB

Jum`at, 26 Desember 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Masyarakat sipil Aceh secara resmi telah mengirimkan surat desakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Council) di Jenewa meminta agar Dewan HAM PBB melakukan pemantauan independen atas dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan bencana Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Perwakilan masyarakat sipil Aceh menyampaikan kondisi korban banjir pascabencana hidrometeorologi yang melanda Provinsi Aceh sejak 26 November 2025.

Hingga lebih dari satu bulan berlalu, penanganan yang dilakukan negara dinilai belum mampu menjamin pemenuhan hak-hak dasar para korban, sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Hal tersebut disampaikan oleh Cut Farah, perwakilan masyarakat sipil Aceh, dalam pernyataan resminya. Ia menegaskan bahwa skala bencana yang sangat luas tidak diiringi dengan respons negara yang memadai di tingkat lapangan.

“Situasi kemanusiaan di Aceh saat ini sangat memprihatinkan. Banyak korban bencana yang hingga kini belum mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar secara layak. Kondisi ini berpotensi melanggar HAM,” ujar Cut Farah kepada media dialeksis.com.

Bencana hidrometeorologi tersebut tercatat berdampak di 18 kabupaten/kota, 198 kecamatan, dan 3.543 desa di seluruh Aceh. Berdasarkan data Posko Tanggap Darurat Aceh per 23 Desember 2025, sebanyak 540.281 kepala keluarga atau 2.017.542 jiwa terdampak.

Korban meninggal dunia mencapai 485 orang, luka berat 474 orang, luka ringan 4.939 orang, dan 31 orang masih dinyatakan hilang. Sementara itu, 374.827 jiwa terpaksa mengungsi dan tersebar di 2.174 titik pengungsian.

Selain menimbulkan korban jiwa, bencana ini juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan sumber penghidupan masyarakat secara masif.

Tercatat 1.098 titik jalan dan 492 jembatan mengalami kerusakan, serta 124.545 unit rumah terdampak. Tidak hanya itu, puluhan ribu hektare lahan pertanian, perkebunan, dan tambak warga rusak parah, mengancam keberlanjutan ekonomi keluarga korban.

Di lapangan, kondisi para pengungsi disebut jauh dari kata layak. Banyak warga masih bertahan di tenda-tenda darurat dengan akses terbatas terhadap air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, dan pangan.

Krisis air bersih memaksa sebagian pengungsi menggunakan air banjir yang tercemar untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk memasak dan menyiapkan susu bayi.

“Kondisi ini sangat berbahaya, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas. Risiko penyakit dan krisis kesehatan terus meningkat,” kata Cut Farah.

Menurut masyarakat sipil, kondisi tersebut menunjukkan belum terpenuhinya hak-hak dasar korban bencana sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005.

“Atas dasar situasi ini, kami menilai terdapat potensi pelanggaran hak atas perumahan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pangan, air bersih, sanitasi, serta hak atas perlindungan sosial bagi para pengungsi internal,” tegasnya.

Sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan global, masyarakat sipil Aceh secara resmi telah mengirimkan surat desakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Council) di Jenewa.

Dalam surat tersebut, mereka meminta agar Dewan HAM PBB melakukan pemantauan independen atas dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan bencana Aceh.

Selain itu, menyampaikan urgent appeal kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah korektif. Mendorong dibukanya akses tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan internasional dan mempertimbangkan pengiriman Pelapor Khusus PBB terkait isu perumahan, kesehatan, air bersih, dan pengungsi internal.

Masyarakat sipil juga meminta agar menjamin perlindungan bagi relawan, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan pembela HAM dan mengangkat situasi kemanusiaan Aceh dalam agenda resmi Dewan HAM PBB.

Cut Farah menegaskan, keterlibatan komunitas internasional bukanlah bentuk intervensi politik, melainkan bagian dari mandat kemanusiaan universal untuk melindungi martabat dan hak asasi manusia, terutama ketika kapasitas nasional belum mampu menjawab skala krisis yang terjadi.

“Bencana tidak boleh menjadi alasan pembiaran terhadap penderitaan rakyat. Negara memiliki kewajiban mutlak untuk hadir dan memastikan hak-hak korban terpenuhi secara bermartabat,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI