Minggu, 15 Juni 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Sengketa Empat Pulau, Herman RN: Frame Politik Lemahkan Aceh

Sengketa Empat Pulau, Herman RN: Frame Politik Lemahkan Aceh

Jum`at, 13 Juni 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Herman RN, akademisi USK dan pegiat sosial budaya. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Isu kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas. Herman RN, akademisi dan pegiat sosial budaya asal Aceh, menilai polemik itu tidak lebih dari “frame politik” yang sengaja dimainkan pemerintah pusat untuk melemahkan konsolidasi Aceh.

Menurut Herman RN, ada empat hal dapat dikritisi dari kejadian empat pulau ini. Pertama, semua orang sepakat bahwa 4 pulau itu milik Aceh dan sudah diakui oleh Gubernur Sumut. 

"Semua orang sebenarnya sudah sepakat bahwa empat pulau itu milik Aceh, bahkan Gubernur Sumut sendiri sudah mengakui hal tersebut. Jadi kenapa masih terus diperdebatkan?" kata Herman RN kepada dialeksis.com, Jumat (13/6/2025).

Pemerintah Aceh, sebutnya, sudah boleh fokus pada pengelolaan pemerintahan dan hal-hal yang produktif, jangan larut terlibat debat kusir. Demikian pula para politisi dan pakar Aceh, baik yang di pusat maupun yang di daerah, sudah cukup buang energi untuk perdebatan 4 pulau itu.

“Pemerintah Aceh seharusnya fokus pada hal-hal produktif. Jangan habiskan energi untuk sesuatu yang sudah jelas,” ujarnya.

Kedua, perlu disadari, empat pulau itu hanya lahan strategis bagi pusat untuk menghabiskan energi Aceh agar berdebat sesama. 

"Dengan diungkitnya empat pulau itu sebagai sebuah kasus, terciptalah konflik sosial kewilayahan yang berimbas pada pelemahan pengawasan dan pengelolaan administrasi wilayah dalam pemerintah Aceh. Orang Aceh tidak menyadari ini," jelasnya.

Ketiga, kasus empat pulau ini dijadikan sebagai lahan konflik sosial sudah bermula pada tahun 2008, menjelang pesta politik. Tujuan Kemendagri mengungkit titik koordinat empat pulau waktu itu untuk memudahkan pusat bermain dalam pemetaan politik Aceh, sehingga mereka tahu siapa yang harus dimenangkan dan siapa yang harus dikorbankan. 

"Setelah tujuan politik didapat, kasus empat pulau didiamkan. Nyaris 10 tahun kasus ini raib dan baru heboh kembali akhir tahun 2017. Tahun 2017 merupakan titik awal kasus korupsi dana DOKA di Aceh. Kasusnya menggelembung bagai balon. Untuk mudah bermain, Kemendagri kembali mengacaukan konsentrasi Aceh dengan lagi-lagi mengeluarkan titik koordinat empat pulau tersebut. Kasus hutan Aceh yang saat itu sedang juga sedang heboh dibelah-belah oleh cukong pusat, kasus pertambangan, dan lainnya, semua raib dihajar kasus empat pulau saat itu. Setelah konsentrasi orang Aceh sibuk dengan 4 pulau itu, pusat kembali diam hingga tahun 2020," paparnya.

Tahun 2020 kembali diungkit kasus 4 pulau itu untuk menutupi desas-desus pasca-Pilpres 2019. Kasus Pemilu 2019 berhasil didiamkan karena orang Aceh sibuk dengan isu 4 pulau itu.

"Ini bukan pertama kalinya empat pulau itu dijadikan "kartu politik".Sejak 2008, isu tersebut kerap muncul menjelang momentum politik penting," ucap Herman RN.

Keempat, ini yang menarik. Selama Safrizal jadi Pj. Gubernur Aceh, kasus empat pulau itu tidak pernah diungkit. “Safrizal tahu watak orang Aceh. Dia tak mau mengusik, karena tahu ini isu sensitif. Dia lebih fokus pada kerja pemerintahan,” katanya.

Namun belakangan, setelah mencuat penolakan masyarakat Aceh terhadap rencana pembangunan empat batalion TNI dan pengurangan dana otsus, isu pulau kembali muncul.

“Isu 4 pulau ini selalu dipakai sebagai peredam isu besar lain. Dan sayangnya, orang Aceh selalu larut,” sindirnya.

Akademisi ini berharap publik Aceh lebih cermat membaca dinamika dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang sudah berkali-kali digunakan untuk tujuan tertentu.

“Empat pulau itu hanya frame opinion untuk melemahkan Aceh. Dan Aceh sendiri belum sadar, malah fly kalau diberi kesempatan debat,” tutupnya. [red]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI