Senin, 21 Juli 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Tertutup untuk Orang Luar: Elit Golkar Aceh Menolak Ketua Impor

Tertutup untuk Orang Luar: Elit Golkar Aceh Menolak Ketua Impor

Minggu, 20 Juli 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Para kader Golkar yang menolak sosok dari luar untuk jadi Ketua Golkar Aceh. [Foto: Kolase Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Aceh - Menjelang Musyawarah Daerah (Musda) XII, suara lantang dari internal Golkar Aceh menguat mereka tidak menghendaki kursi ketua direbut tokoh non-kader. Dari senior hingga sayap muda partai kompak bersuara Golkar punya stok kader mumpuni. Direncana akan digelar Agustus 2025, suhu politik di internal partai berlambang pohon beringin itu mulai memanas. Namun, satu suara terdengar nyaring dan konsisten penolakan terhadap calon ketua dari luar kader.

Bukan tanpa alasan. Para elite dan tokoh senior Golkar Aceh menilai partai ini telah memiliki stok kader berlimpah yang layak memimpin. Diskursus soal kemungkinan hadirnya tokoh eksternal yang ‘diimpor’ untuk memimpin justru dipandang sebagai langkah mundur, sekaligus ancaman terhadap tradisi kaderisasi yang telah lama dibangun.

“Tolak secara tegas yang bukan kader untuk maju sebagai calon Ketua Golkar Aceh,” ucap Teuku Raja Keumangan (TRK), Bupati Nagan Raya sekaligus salah satu figur senior partai kepada Waspada Aceh.

TRK menegaskan, tidak ada alasan untuk mencari pemimpin dari luar jika internal Golkar memiliki sumber daya manusia yang lengkap. Ia mengingatkan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai mengamanahkan proses kaderisasi sebagai mekanisme utama.

Ali Basrah, Sekretaris DPD I Golkar Aceh sekaligus Wakil Ketua DPRA, menyuarakan hal senada di media Dialeksis. Baginya, wacana pengusungan tokoh non-kader hanya memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap kekuatan sendiri.

“Kita punya surplus kader berkualitas. Sudah ada yang pernah jadi bupati, anggota dewan, bahkan kepala daerah. Lalu, kenapa harus impor dari luar?” kata Ali saat diwawancara Dialeksis, Jumat (18/7/2025).

Ali menyebut nama-nama seperti TRK, Ilham Pangestu, hingga Teuku Zulkarnaini sebagai contoh kader potensial yang lahir dari rahim partai. “Jangan sampai ada yang datang hanya membawa bendera, tanpa sejarah, tanpa kontribusi,” lanjutnya.

Kekhawatiran itu juga datang dari kalangan muda. Mukris Jumadi, Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Kota Langsa, mengingatkan bahwa keterbukaan partai tak boleh dimaknai sebebas-bebasnya.

“Golkar adalah rumah besar, tapi rumah ini punya pintu. Masuknya harus ikut aturan. Tidak bisa langsung duduk di ruang tamu tanpa pernah bantu membersihkan rumah,” ujarnya dengan kiasan tajam.

Mukris menilai diskresi bukan barang haram, tapi menurunkan dari langit sosok non-kader lalu menjadikannya ketua, adalah tindakan yang tak hanya naif, tapi juga membahayakan struktur partai.

Pandangan keras juga datang dari Aramiko Aritonang, mantan anggota DPR Aceh dan kini bagian dari DPD I Golkar. Ia mengingatkan bahwa sepanjang sejarah, kepemimpinan Golkar Aceh tak pernah diserahkan ke pihak luar.

“Menyerahkan tongkat komando kepada non-kader adalah preseden buruk. Kita punya banyak kader yang sejak awal digembleng di partai ini. Kenapa tiba-tiba harus dikalahkan oleh yang tak punya rekam jejak?” ucap Aramiko.

Suara keberatan ini bukan sekadar keluhan pinggiran. Wakil Ketua DPD I Golkar Aceh, Khalid S.Pd.I, bahkan menyebut wacana calon non-kader sebagai ancaman terhadap soliditas internal.

“Soliditas itu lahir dari penghargaan atas proses. Kalau proses itu dilewati begitu saja oleh orang luar, kita bukan lagi partai kader, tapi partai panggung,” kata Khalid kepada Dialeksis, Sabtu (20/7).

Ia juga menyindir pihak-pihak yang terlalu mudah mengusulkan nama tokoh eksternal dengan dalih elektabilitas atau koneksi pusat. Menurut Khalid, elektabilitas bukan segalanya jika tak diiringi dedikasi dan sejarah pengabdian di tubuh partai.

Pandangan serupa datang dari Teuku Kemal Fasya, akademisi Universitas Malikussaleh. Menurutnya, Golkar dikenal sebagai partai yang punya sistem kaderisasi paling tertata di antara partai lain.

“Golkar bukan partai karbitan. Sulit bagi orang luar untuk langsung masuk ke pucuk. Kalau itu terjadi, ya berarti ada kelumpuhan internal,” ujar Kemal.

Ia bahkan menyebut beberapa nama yang muncul di permukaan sebagai “kutu loncat”, karena tercatat pernah berpindah-pindah partai. “Publik Aceh tahu itu. Basis Golkar juga tahu,” tegasnya.

Rangkaian testimoni ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap calon non-kader bukan sekadar sentimen kelompok tertentu. Ia telah menjadi konsensus diam - diam yang kini bersuara terang. Di akar rumput, kader partai, dari ketua kecamatan hingga pengurus kabupaten/kota, juga mulai menyuarakan keresahan yang sama.

Musda Golkar Aceh yang sedianya akan berlangsung bulan depan, dipastikan menjadi panggung pembuktian, apakah partai ini tetap teguh dengan marwah kaderisasi, atau tunduk pada kehendak eksternal yang kerap datang membawa beban lebih besar dari manfaat.

Maka, suara-suara penolakan itu bukan kebetulan. Ia adalah alarm nurani dari mereka yang mencintai partai ini secara jujur. Mereka yang percaya bahwa Golkar Aceh hanya akan besar jika dipimpin oleh orang yang paham jantungnya, bukan sekadar yang datang dengan nama besar namun berjarak dengan akar rumput.

Karena pada akhirnya, rumah ini harus dijaga oleh mereka yang pernah menyapu halamannya, yang paham setiap retakan di dindingnya, dan yang bersumpah menjaga pintunya tetap tertutup bagi siapa pun yang datang hanya untuk menempati singgasana tanpa pernah mengenakan seragam kuning dalam perjuangan.

Golkar Aceh bukan milik siapa pun yang datang menjelang Musda, tapi milik mereka yang sudah lama menyatu dalam denyutnya. Dan hari ini, suara itu telah bulat: Ketua bukan untuk diimpor, melainkan dilahirkan. Dari rahim partai. Untuk Golkar. Dari Golkar. Oleh kader Golkar.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI