kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / TTI: E-Katalog adalah Modus Baru Legalkan Korupsi

TTI: E-Katalog adalah Modus Baru Legalkan Korupsi

Selasa, 06 Agustus 2024 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Koordinator TTI, Nasruddin Bahar. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Transparansi Tender Indonesia (TTI) menilai penyediaan barang dan jasa melalui e-katalog sebagai salah satu cara melegalkan korupsi. Dengan diperbolehkannya e-katalog, terutama untuk pekerjaan konstruksi, banyak modus e-katalog yang disalahgunakan.

Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, mengatakan sering ditemukan delapan potensi kecurangan dalam praktik e-katalog. Pertama, persekongkolan antara penyedia di katalog elektronik dengan Pejabat Pengadaan/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pengaturan harga.

Kedua, lanjutnya, Pejabat Pengadaan/PPK tidak melakukan negosiasi saat memproses paket dengan fitur negosiasi.

"Sering terjadi persekongkolan antara Pejabat Pengadaan/PPK dengan penyedia saat proses transaksi dengan modus biaya klik," kata Nasruddin dalam keterangan tertulis kepada Dialeksis.com, Selasa (6/8/2024).

Selain itu, kata Nasruddin, PPK tidak memeriksa barang yang dikirimkan oleh distributor sehingga barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan.

"Adanya ongkos kirim fiktif yang diatur antara penyedia dan Pejabat Pengadaan PPK, di mana ongkos kirim yang diterima oleh penyedia akan diberikan kepada Pejabat Pengadaan/PPK saat mengambil barang ke lokasi penyedia," ungkapnya lagi.

Potensi kecurangan selanjutnya, kata dia, adanya persekongkolan dalam mengatur ongkos kirim, di mana selisih nilai ongkos kirim diberikan kepada pejabat PPK.

"K/L/P/D mendorong penyedia untuk memasukkan barang ke katalog elektronik agar dapat dibeli oleh masing-masing instansi, namun pembelian barang tersebut hanya terjadi satu kali, kemungkinan barang tersebut tidak pernah dibeli oleh institusi manapun. Serta Pejabat Pengadaan/PPK memilih barang bukan harga yang termurah," jelasnya. 

Dari kedelapan potensi kecurangan tersebut, kata dia, persekongkolan antara pejabat pengadaan/PPK dengan penyedia merupakan yang paling mencolok. 

"PPK sudah menyetujui komitmen fee yang harus dikeluarkan oleh penyedia sesuai kesepakatan tergantung dengan barang yang dibeli. Untuk pengadaan barang, biasanya ada cashback antara 20-30%, obat-obatan 3-5%, dan pekerjaan konstruksi 10-15%," ugkapnya.

Menurutnya, pengembalian uang atau pemberian fee dapat ditutupi dengan alasan penunjukan penyedia melalui e-katalog, seolah-olah tidak terjadi perbuatan melawan hukum. PPK lepas dari lirikan aparat penegak hukum (APH), padahal di balik itu semua adalah modus.***

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda