Minggu, 28 September 2025
Beranda / Politik dan Hukum / TTI Mendesak Kapolda Aceh Usut Tudingan Uang Suap Rp360 Miliar per Tahun

TTI Mendesak Kapolda Aceh Usut Tudingan Uang Suap Rp360 Miliar per Tahun

Sabtu, 27 September 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Koordinator TTI, Nasruddin Bahar. [Foto: Dokpri]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Transparansi Tender Indonesia (TTI) mendesak Kapolda Aceh untuk mengusut tuntas tudingan adanya praktik suap yang melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH) di Aceh. Tuduhan ini disampaikan oleh Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam rapat paripurna yang membahas aktivitas tambang ilegal di wilayah Aceh.

"Kami meminta Kapolda Aceh segera membentuk tim khusus untuk menyelidiki dugaan penerimaan uang suap sebesar Rp30 juta per bulan dari setiap unit ekskavator ilegal yang beroperasi di hutan Aceh," ucap Koordinator TTI, Nasruddin Bahar dalam keterangannya pada Sabtu (27/9/2025).

Nasruddin menjelaskan, berdasarkan temuan Pansus DPRA, terdapat lebih dari 1.000 unit ekskavator atau beko yang digunakan untuk menambang secara ilegal di kawasan hutan Aceh. Jika benar, uang suap yang diterima oleh APH mencapai Rp30 miliar per bulan atau sekitar Rp360 miliar per tahun.

“Reputasi kepolisian sebagai aparat penegak hukum tengah tercoreng oleh isu ini. Kami mendesak agar pengusutan dilakukan secara transparan dan melibatkan semua pihak, mulai dari tingkat Polsek, Polres, hingga Polda, bahkan pejabat pusat jika terbukti terlibat,” ujarnya.

Masyarakat Aceh disebutnya sangat terpukul mendengar dugaan setoran besar tersebut, yang seharusnya menjadi pendapatan negara jika dikelola secara resmi. 

“Jika uang pajak tambang masuk ke kas negara, tentu dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Nasruddin.

Nasruddin juga mengingatkan pemerintah agar tidak serta merta menutup aktivitas tambang ilegal, karena hal itu berpotensi merugikan ribuan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor tersebut. 

Ia mencontohkan, “Jika ada 1.000 penambang yang masing-masing mempekerjakan 10 orang, maka ada sekitar 10.000 pekerja langsung. Jika setiap pekerja menanggung lima anggota keluarga, berarti sekitar 50.000 orang terdampak.”

Sebagai solusi, Nasruddin mengusulkan agar Gubernur Aceh, Nova Iriansyah Mualem, segera mendata tambang-tambang ilegal tersebut untuk dijadikan tambang rakyat yang resmi. 

“Dinas Pertambangan dan Energi harus duduk bersama dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mencari jalan keluar yang adil, terutama terkait izin tambang di kawasan hutan lindung,” jelasnya.

Dengan legalisasi tambang rakyat, kata Nasruddin, pajak yang disetor akan masuk ke kas daerah atau negara, bukan ke kantong aparat penegak hukum. “Ini adalah solusi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan,” tutupnya. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid