Rabu, 03 Desember 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Wali Nanggroe Desak Investigasi Khusus Banjir Sumatera, Soroti Deforestasi dan Lemahnya Tata Ruang

Wali Nanggroe Desak Investigasi Khusus Banjir Sumatera, Soroti Deforestasi dan Lemahnya Tata Ruang

Rabu, 03 Desember 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar, meminta pemerintah bertindak cepat dan menyeluruh dalam menangani bencana hidrometeorologi yang menerjang Sumatera sejak akhir November. [Foto: Humas WNA]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Peringatan Milad ke-49 Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Rabu, 3 Desember 2025, berubah menjadi panggung seruan politik dan kemanusiaan. Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar, meminta pemerintah bertindak cepat dan menyeluruh dalam menangani bencana hidrometeorologi yang menerjang Sumatera sejak akhir November.

Dalam pidatonya, Malik menyampaikan duka mendalam atas banjir, angin kencang, dan longsor yang menelan korban jiwa serta memutus akses di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Sebanyak 18 kabupaten/kota di Aceh terdampak, mulai Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe hingga Aceh Utara serta Aceh Tengah.

“Musibah ini bukan sekadar bencana tahunan. Ini tragedi yang menuntut ketegasan negara,” kata Malik dalam amanatnya.

Malik meminta Tim Tanggap Darurat Hidrometeorologi yang melibatkan Pemerintah Aceh, BPBA, BPBD kabupaten/kota, TNI-Polri, hingga relawan mempercepat evakuasi warga, memperbaiki akses jalan, dan memastikan layanan kesehatan menjangkau kelompok rentan seperti anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

Ia menyoroti potensi ancaman baru pascabanjir: munculnya wabah penyakit. Untuk itu, ia menekankan distribusi air bersih, tablet klorin, perbaikan sanitasi, edukasi higienitas, hingga penanganan bangkai hewan.

“Krisis kesehatan tidak boleh menjadi bencana kedua setelah banjir,” ujarnya.

Nada pidato Malik berubah lebih tegas ketika menyinggung akar-akar ekologis bencana. Ia menyebut deforestasi, alih fungsi lahan, dan tata ruang yang tak berbasis risiko sebagai masalah utama yang memperparah banjir.

Ia mendorong rehabilitasi hutan di daerah tangkapan air kritis serta penataan ulang pembangunan agar tak lagi menjamah zona merah rawan longsor. Infrastruktur pengendali banjir sabo dam, kolam retensi, kanal diminta diperbanyak.

“Jika kita terus membangun tanpa memikirkan risiko, maka hitung mundur menuju bencana berikutnya hanya soal waktu,” kata Malik.

Salah satu tuntutan utama Malik ialah pembentukan Tim Investigasi Khusus Pemerintah Aceh. Tim beranggotakan ahli hidrologi, akademisi, pakar lingkungan, aparat penegak hukum, dan mitra independen.

Tugas mereka antara lain menyelidiki penyebab banjir mulai deforestasi, sedimentasi, polusi, tambang ilegal, hingga dugaan kegagalan konstruksi infrastruktur penahan banjir serta mengaudit kerusakan fisik yang terjadi.

“Harus ada kepastian: apakah bencana ini murni fenomena alam atau akibat tangan-tangan manusia,” tegas Malik.

Di bagian akhir pidatonya, Malik menegaskan bahwa Aceh kini menghadapi musuh baru: kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan, dan memudarnya adat. Ia mengajak masyarakat menjaga perdamaian, memperkuat pendidikan, membangun ekonomi rakyat, serta menegakkan pemerintahan yang bersih.

“Perjuangan syuhada kita hari ini harus diterjemahkan dalam bentuk kerja-kerja memulihkan Aceh,” ujarnya.

Pidato Malik menjadi salah satu pernyataan paling keras dalam momentum Milad GAM beberapa tahun terakhir, menandai bergesernya fokus isu Aceh dari politik konflik menuju tata kelola lingkungan dan kapasitas mitigasi bencana. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI