Senin, 17 Maret 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Wamenkum: KUHAP Baru Atur Ulang Pra Peradilan dan PK

Wamenkum: KUHAP Baru Atur Ulang Pra Peradilan dan PK

Minggu, 16 Maret 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej. [Foto: net]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej, mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru perlu mengatur ulang terkait Pra Peradilan dan Peninjauan Kembali (PK). 

Terkait pra peradilan, lanjut Wamenkum, saat ini terdapat lima objek pra peradilan yaitu, sah tidaknya penangkapan dan penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan; sah tidaknya penyitaan barang bukti; dan sah tidaknya penetapan tersangka; serta ditambah ganti rugi atau rehabilitasi. Pra peradilan bisa dilakukan untuk semua upaya paksa, mulai dari penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

“Pra peradilan nantinya akan diperluas,” ujar Wamenkum yang sering disapa Eddy dalam keterangannya, Minggu (16/3/2025).

Eddy menyebut bahwa terdapat satu upaya paksa yang belum ada di KUHAP yang berlaku saat ini, yaitu pemblokiran transaksi perbankan.

“Jadi kita berikan definisi bahwa pemblokiran adalah penghentian sementara transaksi perbankan yang dilakukan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim, kemudian hal itu juga merupakan objek dari pra peradilan,” ucap Wakil dari Menteri Hukum Supratman Andi Agtas ini.

Lebih lanjut, Eddy mengatakan pra peradilan harus dilakukan dengan adil. Ketika seseorang mengajukan gugatan pra peradilan, proses hukum itu harus dihentikan untuk sementara waktu. Yang terjadi saat ini adalah pra peradilan gugur ketika masuk pemeriksaan sidang. Ditambah lagi dengan putusan MK yang menyatakan pra peradilan bisa gugur ketika berkas sudah diberikan kepada penuntut umum.

“Saya kira, karena ia melakukan interupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan, maka seharusnya itu distop, dihentikan untuk sementara waktu sampai putusan pra peradilan. Supaya tidak alasan lagi diulur-ulur waktunya, sementara perkara itu berjalan terus sampai tahap penuntutan kemudian hakim menggugurkan dengan alasan perkara sudah masuk ke tahap berikutnya,” tutur Eddy.

“Saya kira ini tidak adil karena ini tidak memberikan perlindungan terhadap HAM,” tambahnya.

Kemudian yang menjadi perhatian dalam KUHAP baru, lanjut Wamenkum, adalah tentang PK. Tunggakan perkara di Mahkamah Agung (MA) saat ini sebanyak 31 ribu, sedangkan jumlah Hakim Agung tidak sampai 50 orang.

“Di Indonesia ini menganggap PK sebagai peradilan tingkat empat. PK bisa berkali-kali berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal di dalam sistem peradilan pidana ada asas perkara pidana itu harus ada akhirnya,” terang Eddy.

“Ya kalau itu diulang-ulang PK, lalu kepastian hukumnya di mana? Kita harus membatasi PK. Saya kira KUHAP harus membatasi itu,” imbuhnya.

Wamenkum memaparkan, PK dalam literatur Belanda itu sebagai alat hukum yang amat luar biasa, karena PK akan membatalkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan itu tidak bisa berkali-kali sebetulnya.

“Intinya harus dibatasi. Karena dampaknya akan terjadi penumpukan perkara,” tandas Eddy. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers