Jum`at, 24 Oktober 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Cucu Sultan Dorong Pemerintah Aceh Proaktif Sambut Pengembalian Artefak dari Belanda

Cucu Sultan Dorong Pemerintah Aceh Proaktif Sambut Pengembalian Artefak dari Belanda

Kamis, 23 Oktober 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Yayasan Sultan Alaidin Mansyursyah yang juga cucu dari Sultan Aceh, Tuanku Warul Waliddin. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kabar tentang rencana pengembalian 30.000 artefak dan dokumen budaya Indonesia oleh Pemerintah Belanda menjadi perhatian besar di berbagai daerah, termasuk Aceh. 

Ketua Yayasan Sultan Alaidin Mansyursyah yang juga cucu dari Sultan Aceh, Tuanku Warul Waliddin, menegaskan pentingnya sikap proaktif Pemerintah Aceh agar benda-benda bersejarah yang berasal dari Tanah Rencong tidak luput dari perhatian dan tidak berakhir di museum nasional di Jakarta, apalagi di tangan pihak asing.

Menurut Tuanku Warul, langkah Belanda mengembalikan artefak ini merupakan sebuah itikad baik yang harus disambut dengan kesiapan dan kecepatan dari pemerintah daerah, khususnya Aceh yang memiliki warisan sejarah dan peradaban Islam yang sangat tua.

“Kita merespons hal ini secara positif. Namun yang lebih penting adalah Pemerintah Aceh harus proaktif menyambut isu ini, jangan diam dan tidak melakukan satu upaya. Jangan sampai artefak atau manuskrip yang terkait dengan sejarah Aceh malah jatuh ke pihak lain, atau bahkan disimpan di museum nasional di Jakarta, bukan di Aceh,” ujar Tuanku Warul kepada media dialeksis.com, Kamis (23/10/2025).

Ia mengingatkan bahwa sebagian besar peninggalan sejarah Aceh, termasuk naskah-naskah kuno, manuskrip ulama, serta benda-benda peninggalan kerajaan, saat ini masih tersimpan di luar negeri seperti di Museum Leiden, Belanda, dan sebagian di Inggris. 

Karena itu, momentum diplomasi budaya antara Indonesia dan Belanda ini harus dimanfaatkan agar artefak-artefak asal Aceh dapat dikembalikan ke tanah kelahirannya.

“Alasan penyimpanan di pusat itu sering kali karena infrastruktur daerah dianggap belum memadai. Tapi jangan sampai alasan itu membuat sejarah Aceh hilang dari Aceh. Pemerintah Aceh harus segera menyiapkan sarana penyimpanan, museum, atau pusat konservasi yang representatif,” tegasnya.

Tuanku Warul juga menyoroti kondisi infrastruktur pelestarian sejarah di Aceh yang masih terbatas. Banyak museum daerah, katanya, belum memiliki sistem penyimpanan modern dan perlindungan dari kerusakan atau pencurian.

“Ini pelajaran penting agar Aceh menyiapkan diri, bukan hanya menunggu kiriman artefak dari luar negeri, tapi juga menjaga yang sudah ada,” tambahnya.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke Istana Huis ten Bosch, Den Haag, Jumat (26/9/2025), mengumumkan bahwa Belanda akan mengembalikan 30.000 fosil, artefak, dan dokumen budaya milik Indonesia yang selama ini disimpan di negeri itu. Langkah ini disepakati setelah Presiden bertemu Raja Willem-Alexander dan Ratu Máxima.

“Saya kira ini itikad baik dari Belanda untuk memelihara hubungan baik dengan kita,” ujar Prabowo dalam keterangannya. Ia juga menambahkan bahwa Ratu Máxima akan berkunjung ke Indonesia pada November mendatang dalam rangka kerja sama bidang keuangan.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy menyebut bahwa Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, akan segera menindaklanjuti kesepakatan tersebut. 

"Prosesnya akan berlangsung cepat karena Raja Belanda sudah menyepakati hal itu. Ini sebenarnya proses panjang, dan Alhamdulillah berhasil disepakati bahwa artefak-artefak tersebut akan dikembalikan ke Indonesia,” ujar Teddy.

Menanggapi hal ini, Tuanku Warul menilai langkah Presiden Prabowo merupakan capaian diplomatik penting, namun perlu ditindaklanjuti secara adil di tingkat daerah. 

Ia berharap pemerintah pusat tidak memusatkan semua benda bersejarah di Jakarta, melainkan mengembalikan masing-masing artefak ke daerah asalnya sesuai nilai historisnya.

“Kita harus hormati sejarah dan asal-usul benda itu. Kalau manuskrip dan artefak itu berasal dari Aceh, maka tempat kembalinya adalah Aceh. Karena di sanalah nilai sejarah, spiritual, dan kebanggaan masyarakatnya,” ucapnya.

Tuanku Warul juga mendorong agar pemerintah Aceh, akademisi, dan masyarakat sipil membentuk tim kajian untuk mendata kembali benda-benda sejarah Aceh yang berada di luar negeri. Pendataan itu bisa menjadi dasar resmi untuk menuntut pengembalian artefak secara sah melalui jalur diplomatik.

“Jangan sampai nanti ketika artefak itu dikembalikan, kita tidak tahu mana yang milik Aceh. Harus ada tim ilmiah, sejarahwan, dan ahli warisan budaya yang bekerja sama dengan pemerintah,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI