kip lhok
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Film The Black Road: Generasi Muda Diajak Tidak Melupakan Sejarah Kelam Aceh

Film The Black Road: Generasi Muda Diajak Tidak Melupakan Sejarah Kelam Aceh

Rabu, 25 September 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh menggelar nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter "The Black Road: On the Front Line of Aceh’s War", karya William Nessen. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam rangka mengangkat kembali isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh menggelar nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter "The Black Road: On the Front Line of Aceh’s War", karya William Nessen pada Selasa malam (24/9/2024).

Acara yang berlangsung di Gedung HMI Cabang Banda Aceh ini dihadiri oleh sejumlah aktivis HAM, pengamat seni, dan masyarakat yang peduli terhadap isu-isu kemanusiaan, terutama di Aceh. 

Diskusi ini dipandu oleh Amru Hidayat sebagai moderator, menghadirkan narasumber penting seperti Iskandar Tungang, pengamat seni; Iping, seorang warga yang peduli terhadap isu HAM; dan Zulfikar Muhammad, aktivis HAM.

Film The Black Road bercerita tentang konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia pada masa konflik Aceh yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun. 

Film ini mengungkap sisi kelam peperangan yang sering kali tidak disorot oleh media, mulai dari kekerasan terhadap masyarakat sipil, penghilangan paksa, hingga pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang konflik. 

William Nessen, sebagai sutradara, menghadirkan perspektif langsung dari garis depan, memberikan gambaran mendalam tentang penderitaan rakyat Aceh yang terjebak di antara dua kubu.

Ketua HMI Cabang Banda Aceh, Syifa Ul Husni, menyampaikan bahwa acara ini bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, tetapi lebih dari itu, untuk menggugah kesadaran generasi muda agar tidak melupakan sejarah kelam yang pernah terjadi di Aceh. 

"Film ini bukan sekadar karya seni, melainkan bentuk dokumentasi sejarah yang harus kita renungi bersama. Jangan sampai kekerasan dan pelanggaran HAM seperti ini terjadi lagi di tanah Rencong," ujar Syifa.

Amru Hidayat, selaku moderator, membuka diskusi dengan menekankan pentingnya memahami konflik Aceh sebagai bagian dari sejarah yang harus diketahui oleh generasi muda. 

"Banyak dari kita yang hanya mendengar sekilas tentang konflik ini, tapi lewat film ini, kita bisa melihat langsung dampak kemanusiaan yang begitu dalam. Bagaimana masyarakat Aceh kehilangan hak-haknya, dan bagaimana konflik ini menghancurkan banyak kehidupan," jelas Amru.

Iskandar Tungang, seorang pengamat seni yang hadir sebagai narasumber, menyampaikan bahwa film The Black Road memiliki nilai seni yang tinggi dalam menggambarkan realitas yang menyakitkan tanpa perlu menyensor kekerasan atau tragedi yang terjadi. 

"Film ini sangat berani dalam menampilkan fakta-fakta lapangan yang mungkin tidak semua orang mau lihat. Namun, di sinilah seni menjadi kekuatan, yakni mampu menggugah rasa kemanusiaan melalui medium visual," kata Iskandar. 

Ia juga menambahkan bahwa seni dalam bentuk apapun, termasuk film dokumenter, dapat menjadi alat untuk melawan lupa.

Sementara itu, Iping, seorang warga yang peduli terhadap isu HAM di Aceh, menyampaikan keprihatinannya bahwa meskipun konflik bersenjata di Aceh telah berakhir, luka-luka dari masa lalu masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. 

"Banyak dari kita yang masih trauma, terutama mereka yang kehilangan anggota keluarga atau mengalami kekerasan langsung selama konflik. Film ini mengingatkan kita bahwa rekonsiliasi sejati belum sepenuhnya tercapai," ujar Iping. 

Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus memperjuangkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di Aceh.

Dalam kesempatan yang sama, Zulfikar Muhammad, seorang aktivis HAM yang telah lama berjuang untuk keadilan di Aceh, memberikan perspektif mengenai tantangan dalam menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM. 

Menurut Zulfikar, salah satu masalah terbesar yang masih dihadapi adalah kurangnya komitmen dari pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. 

"Sampai saat ini, banyak kasus yang belum mendapatkan penyelesaian yang adil. Para pelaku masih berkeliaran bebas, sementara korban dan keluarga korban dibiarkan tanpa keadilan. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk terus mendesak agar kebenaran ditegakkan," tegasnya.

Zulfikar juga mengapresiasi HMI Cabang Banda Aceh yang telah berinisiatif menyelenggarakan acara nobar dan diskusi ini. 

Menurutnya, acara seperti ini sangat penting dalam menjaga agar isu-isu HAM tetap hidup di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang mungkin tidak merasakan langsung dampak konflik.

"Kegiatan serupa dapat terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, agar mereka tidak melupakan sejarah dan terus berjuang untuk keadilan," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda