DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Filolog dan sejarawan Aceh, Hermansyah mengajak orang-orang kaya Aceh mau menyisihkan sebagian kecil dari hartanya untuk membeli dan menjaga manuskrip kuno agar tetap berada di tanah kelahirannya.
"Dulu saya pernah punya angan-angan. Kalau saja orang kaya di Aceh mau sisihkan 0,005% dari hartanya untuk beli benda-benda leluhurnya seperti manuskrip, maka banyak yang bisa diselamatkan,” ungkapnya kepada media dialeksis.com, Rabu (30/7/2025).
Menurut Ketua Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) di Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh ini, menyelamatkan manuskrip kuno bukan sekadar hobi atau pelengkap akademik, melainkan misi kebudayaan yang mendesak karena lembar-lembar tua itu adalah jejak pikiran dan jiwa para leluhur Aceh.
Dalam hal ini, katanya banyak manuskrip kuno yang saat ini berada di luar Aceh, bahkan di luar negeri, karena tidak ada yang mampu membelinya saat masih dalam proses jual-beli. Hermansyah sendiri pernah mengalami kekecewaan serupa.
“Tahun lalu saya sudah panjar dan hampir dapat sebuah mushaf langka. Tapi karena tidak bisa bayar cash, akhirnya dibeli orang lain yang langsung bayar lunas,” kisahnya.
Motivasi utama Hermansyah membeli manuskrip bukan karena semata-mata koleksi pribadi, tetapi karena kekhawatiran akan nasib manuskrip-manuskrip itu jika jatuh ke tangan pihak luar.
"Saya nekat membeli karena khawatir manuskripnya terbang ke luar Aceh seperti yang sering terjadi di tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Baginya, setiap lembar manuskrip menyimpan pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai yang tidak ternilai. Manuskrip bukan sekadar tulisan tua, melainkan sumber sejarah dan identitas yang bisa memperkuat narasi Aceh dalam peradaban Islam dan Nusantara.
Banyak di antaranya ditulis tangan, dengan tinta dan kertas buatan lokal yang sangat rentan terhadap kerusakan jika tidak dirawat dengan baik.
Hermansyah mengakui bahwa kesadaran kolektif masyarakat Aceh terhadap pentingnya menyelamatkan manuskrip masih rendah. Ia berharap melalui peran filolog, akademisi, dan media, akan ada perubahan cara pandang.
“Manuskrip itu bukan barang antik yang cukup dipajang. Ia adalah sumber pengetahuan dan warisan budaya. Kalau tidak kita, siapa lagi yang akan jaga,” tegasnya.
Ia pun berharap Pemerintah Aceh, kampus, dan para dermawan bisa membuat skema pembiayaan atau hibah untuk mendukung penyelamatan manuskrip secara berkelanjutan.
“Ini tanggung jawab bersama. Jika manuskrip-manuskrip ini hilang, kita kehilangan bagian penting dari sejarah kita,” ujar Hermansyah.
Meski penuh tantangan, Hermansyah tetap memilih jalan sunyi ini. Ia yakin bahwa di balik kesunyian itu, ada makna besar yang akan terasa di masa depan.
“Kadang saya merasa sendiri. Tapi setiap kali membuka satu halaman naskah tua dan membaca isinya, saya merasa sangat dekat dengan masa lalu, dan itu yang memberi semangat," pungkasnya.[nh]