kip lhok
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Kupiah Meukeutop, Refleksi History Pahlawan Aceh

Kupiah Meukeutop, Refleksi History Pahlawan Aceh

Selasa, 14 Juni 2022 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Kupiah meukeutop [Foto: Frans Delian/Shutterstock]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kupiah Meukeutop yang menjadi sebuah cerminan sejarah Aceh semakin hari semakin mendunia.

Dimana Kupiah Meukeutop merupakan sebuah topi atau Peci ‘Kopiah’ yang terus menjadi sasaran para wisatawan dan masyarakat lokal. 

Kupiah Meukeutop merupakan sebuah kerajinan yang juga menjadi ikon dari Aceh yang digunakan sebagai penutup kepala oleh pria di Aceh sebagai pelengkap pakaian adat dan dipakai dalam upacara adat.

Kupiah Meukutop sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dan dulu juga dikenal dengan sebutan kupiah Tungkop karena berasal dari daerah pemukiman Tungkop di Kabupaten Pidie.

Di zaman Kesultanan Aceh, kupiah ini digunakan oleh para Sultan dan ulama. Ciri khas yang identik dari kupiah Meukutop ini berbentuk Tinggi, Lonjong, dan dihiasi lilitan kain sutra berbentuk segi delapan atau biasa disebut Tengkulok.

Bagian bawah kupiah terdapat motif anyaman kombinasi warna merah, kuning, hijau dan hitam. Dibagian tengahnya juga terdapat anyaman serupa, namun dibatasi dengan lingkaran kain hijau diatas dan kain hitam dibawah.
 

Kalau diperhatikan dengan seksama maka terdapat sebuah hijaiyah ‘Lam’ di lingkaran kepala bagian bawah.

Dikutip dari Goodnewsfromindonesia.id, kupiah meukeutop terbagi menjadi empat bagian dan memiliki filosofinya masing-masing.

Bagian pertama, bermakna hukum, bagian kedua bermakna adat, bagian ketiga bermakna qanun atau peraturan daerah dan keempat bermakna reusam.

‘Reusam’ istilah yang bermakna unsur adat-istiadat, tata cara dan tata tertib kehidupan yang dijalankan sejak zaman dulu.

Warna kupiah meukutop juga memiliki maknanya, warna merah melambangkan jiwa pahlawan, hijau pertanda agama, hitam melambangkan ketegasan atau ketetapan hati kuning merupakan simbol negara atau kerajaan, dan warna putih memiliki makna kesucian atau keikhlasan.

 

Kupiah Meukutop juga sudah masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda pada Tahun 2021 dan telah ditetapkan dalam sidang Kemendikbud Ristek.

Bahkan sangking Ikoniknya, Kupiah Meukutop juga sampai dibangun Tugu Kupiah Meukeutop yang menjadi destinasi wisata yang berada di Iskandar Muda, Kuta Padang, Meulaboh, Aceh Barat.

Tugu tersebut dibangun merupakan wujud penghormatan terhadap Pahlawan Aceh, Teuku Umar yang sudah memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh.

Di Banda Aceh, juga terdapat masjid dengan Kubah Kupiah Meukeutop yang terletak di Masjid Baitul Musyahadah yang terletak di Jalan Teuku Umar, Gampong Geuceu Kayee Jato, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh.

Secara historis, kupiah Meukutop memang lebih dikenal dengan topi kebesaran yang dipakai Teuku Umar. Namun tak ada sumber yang menjelaskan kapan dan siapa pertama kali yang memakai kopiah Meukutop, karena diketahui juga Panglima Polem dan Sultan Muhammad Daud Syah juga memakai Kupiah Meukeutop. 

Pada dasarnya masyarakat belum mengetahui asal-muasal kupiah Meukeutop ini. banyak yang menganggap kupiah ini berasal dari Meulaboh karena dipakai Teuku Umar. 

Dilansir dari djkn,kemenkeu, T.A. Sakti salah satu Tokoh Budaya Aceh dan Sejarawan Aceh mengatakan, dari sumber-sumber bacaan yang ada, bahkan belum ditemukan secara detail tentang Kupiah meukeutop.

“Dari sumber-sumber bacaan yang ada, saya belum menemukan secara detail tentang kupiah meukeutop ini,” kata T.A. Sakti.

Menurutnya, Aceh memiliki pakaian resmi yang berlainan dengan yang selalu dipakai para pejabat dan tokoh-tokoh adat dalam acara resmi di Aceh selama ini.

Bahan pakaian adat yang digunakan saat ini, kata T.A. Sakti yaitu dipakai dikepala adalah Kupiah Meukeutop, sedangkan dalam versi lain adalah kupiah Aceh dan tangkulok Aceh berkasab. Kemudian, hiasan uang diselipkan di pinggang juga bukan semata-mata rencong, tetapi boleh keris, siwah, badik dan rachuh.

Dirinya merujuk pada kitab ‘Tazkirah Thabaqat’ salinan Teungku Di Mulek tahun 1270 H, yang dimana naskah aslinya sudah ditulis pada zaman Sultan Mahmud Al-Qahar abad ke-16 Masehi. 

Dalam Kitab ‘Tazkirah Thabaqat’ tertulis dalam bahasa melayu yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang menyebutkan dalam salah satu kutipan tentang Pakaian Aceh adalah ‘dan demikian lagi Adat Kerajaan Sultan Aceh, yaitu apabila orang-orang masuk ke Dalam Darud Dunia: hendak menghadap Paduka Sri Baginda Sultan Aceh: walau siapapun sekalipun, yaitu orang Aceh sendiri, atau orang asing, maka tidak dibolehkan dia memakai pakaian sendiri ialah orang ‘Arab dan ‘Alim ulama, tetapi tidak dibolehkan memakai warna kuning dan warna hijau. 

Sementara yang lain, waktu menghadap Sultan diwajibkan memakai pakaian Aceh, diantaranya Kupiah Aceh, Tengkuloek Aceh berkasab, baju Aceh berkasab, berkain selempang dari kanan ke kiri memakainya berkasab, seluar berkasab, kain pinggang berkasab. Memakai rencong atau keris atau siwah badik atau rachuh yang berhulu suasa atau perak atau emas dan barang sebagainya, didepan sebelah kanan.

Walaupun Kupiah Meukeutop belum diketahui asal-muasalnya secara jelas, namun Kopiah Meukeutop menjadi sangat Ikonik di Aceh yang menunjukkan kekhasan Aceh pada dunia.

Berbentuk unik dan memiliki corak yang indah dan memiliki nilai historical yang tinggi, kupiah Meukeutop yang kini sering dijadikan souvenir yang menarik, juga bisa menjadi edukasi yang bagus bagi generasi saat ini. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda