DIALEKSIS.COM | Lhoknga - Dalam banyak cerita dari beragam konflik di Aceh dari masa ke masa, perempuan-perempuan di Aceh tercatat memiliki peranan yang luar biasa. Melalui buku sastra, peran-peran perempuan dalam salah satu masa itu coba ditulis seorang penulis perempuan Aceh asal Bireuen, Ida Fitri, lewat sebuah novel bertajuk Paya Nie.
Novel ini tidak sekadar dibedah sebagai karya sastra, tetapi juga dimaknai sebagai ruang refleksi bersama. Diskusi buku ini menegaskan bahwa sejarah tidak hanya dapat dibaca lewat buku sejarah tapi juga dapat diketahui lewat buku-buku sastra.
“Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini memiliki karakteristik yang kuat, tangguh, dan berani mengambil risiko. Mereka merasa mempunyai tanggung jawab untuk merawat kehidupan, dan itu karakteristik khas perempuan Aceh. Ketika konflik, karakteristik itu terlihat sangat tebal, dan setelah konflik usai hal tersebut tetap ada,” ujarnya dalam acara diskusi seri buku sastra berjudul Paya Nie yang digelar di di perpustakaan Sophie’s Sunset Library, Lampuuk, Lhoknga, Aceh Besar, Jumat (12/9/2025).
Acara diskusi buku sastra ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk penguatan komunitas sastra 2025.
Raisa yang juga penulis perempuan dari Aceh menekankan bahwa perempuan juga mempunyai peran krusial dalam merawat perdamaian di Aceh.
“Novel ini juga memberi perspektif penting tentang peran perempuan di tengah konflik yang kerap kali terlupakan dan dianggap remeh di Aceh. “Sehingga jarang kita temui narasi tentang perempuan di masa konflik dan juga di masa perdamaian ini,” akunya.
Dikatakan Raisa, novel yang menyabet juara tiga pada sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2023 silam dan masuk dalam nominasi ajang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 tidak hanya menyajikan sebuah rekaman peristiwa keseharian yang pernah dialami oleh perempuan di Aceh pada suatu masa, tapi juga menawarkan sebuah seting landscape baru berupa rawa atau di Aceh dikenal dengan istilah paya.
“Seting lokasi yang menjadi salah satu lokasi kisah di buku ini berada di paya atau rawa, sesuatu hal yang baru bagi sastra Aceh juga sastra Indonesia karena biasanya setingnya selalu tentang kota, desa, gunung. Rawa sendiri bagi orang Aceh adalah landscape yang sangat dekat karena seperti Banda Aceh, juga kota dengan banyak rawa,” lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan, Ahmad Mahendra mengatakan, program yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan untuk penguatan komunitas sastra ini adalah upaya untuk menjembatani antara karya sastra dengan pembaca.
Karena selama ini menurutnya, diseminasi atau penyebaran buku sastra masih belum optimal. Komunitas sastra diharapkan berperan sebagai ujung tombak yang akan menyebarluaskan karya sastra, dengan cara mendiskusikannya dan mengalihwahanakannya.
Sophie’s Sunset Library sebuah perpustakaan umum yang berada di Lampuuk, Lhoknga, Aceh Besar adalah salah satu komunitas sastra di Indonesia yang mendapat dukungan penguatan komunitas sastra 2025 dari Kementerian Kebudayaan.
Selain mendiskusikan novel Paya Nie, acara yang dipandu oleh Maulia Iska Novita ini dibuka dengan seni tutur hikayat yang dibawakan Fuadi S Klayu. Fuadi melantunkan syair-syair tentang pentingnya literasi.
Walaupun Ida Fitri, berhalangan hadir tapi acara ini tetap berlangsung dengan lancar. Raihan Lubis sebagai salah satu pendiri Sophie’s Sunset Library mengatakan kegiatan diskusi buku sastra seperti ini telah rutin mereka lakukan dalam tiga tahun terakhir ini dengan swadaya.
“Dukungan Kementerian Kebudayaan patut kita apresiasi karena dengan demikian semakin luas jangkauan yang dapat dilakukan oleh komunitas-komunitas seperti kami ini sehingga semakin banyak yang dapat menyukai sastra. Melalui acara-acara seperti ini, kita bisa punya kesadaran baru yang hadir secara kolektif tentang pentingnya literasi dan juga sastra,” pungkasnya.
Dikatakan Raihan Lubis, bagi yang tidak hadir pada diskusi ini masih dapat menonton jalannya diskusi di channel youtube Sophie’s Sunset Library. [*]