Sabtu, 25 Oktober 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Pengembalian Artefak dari Belanda Jadi Momentum Penting Bagi Aceh Jaga Warisan Sejarah

Pengembalian Artefak dari Belanda Jadi Momentum Penting Bagi Aceh Jaga Warisan Sejarah

Sabtu, 25 Oktober 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Filolog Aceh dan akademisi UIN Ar-Raniry, Hermansyah. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kabar mengenai rencana Pemerintah Belanda mengembalikan 30.000 artefak dan dokumen budaya milik Indonesia mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi dan sejarawan Aceh.

Filolog Aceh dan akademisi UIN Ar-Raniry, Hermansyah, yang menilai langkah ini sebagai momen penting dalam sejarah diplomasi budaya antara Indonesia dan Belanda.

Menurut Hermansyah, banyak peninggalan berharga milik Aceh yang hingga kini masih tersimpan di luar negeri, khususnya Belanda, terutama di Museum Leiden dan Bronbeek Museum serta beberapa tempat koleksi lainnya.

Koleksi tersebut mencakup naskah-naskah kuno, manuskrip karya ulama dan tokoh Aceh, hingga benda-benda budaya peninggalan kerajaan Aceh yang menjadi saksi peradaban Islam dan perdagangan maritim masa lampau.

“Sebagian besar peninggalan sejarah Aceh, termasuk naskah ulama dan artefak atau benda budaya kerajaan, masih berada di luar negeri. Karena itu, momentum diplomasi budaya ini harus dimanfaatkan dengan baik agar artefak-artefak asal Aceh bisa kembali ke tanah kelahirannya,” ujar Hermansyah kepada media dialeksis.com, Sabtu (25/10/2025).

Ia menekankan bahwa pemerintah Aceh tidak boleh bersikap pasif. Hermansyah mengingatkan bahwa salah satu alasan klasik artefak disimpan di museum pusat seperti di Jakarta atau bahkan di luar negeri adalah ketiadaan infrastruktur daerah yang memadai untuk penyimpanan dan konservasi benda bersejarah.

“Alasan penyimpanan di pusat itu sering kali karena infrastruktur daerah dianggap belum siap. Tapi jangan sampai alasan itu membuat sejarah Aceh hilang dari Aceh, apalagi itu semua menjadi investasi pendidikan dan wisata yang berkesinambungan,” tegasnya.

“Pemerintah Aceh harus segera menyiapkan sarana penyimpanan, museum tematik, atau pusat konservasi yang representatif. Ini pelajaran penting agar Aceh menyiapkan diri, bukan hanya menunggu kiriman artefak dari luar negeri, tapi juga menjaga yang sudah ada,, terutama warisan yang tersisa di Aceh” tambah Hermansyah.

Langkah diplomatik yang menjadi latar isu ini bermula dari kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Istana Huis ten Bosch, Den Haag, pada Jumat (26/9/2025).

Dalam pertemuan tersebut, Prabowo mengumumkan kesepakatan dengan Raja Willem-Alexander dan Ratu Máxima untuk mengembalikan sekitar 30.000 fosil, artefak, dan dokumen budaya Indonesia yang selama ini tersimpan di Belanda.

Presiden menilai langkah ini sebagai bentuk itikad baik Pemerintah Belanda dalam memelihara hubungan historis dan kebudayaan kedua negara. Ia juga menyebut Ratu Máxima akan berkunjung ke Indonesia pada November mendatang untuk memperkuat kerja sama bidang keuangan dan sosial.

Menanggapi hal ini, Hermansyah menilai bahwa capaian diplomatik Presiden Prabowo merupakan langkah bersejarah, namun harus disertai dengan distribusi artefak yang adil secara regional.

Ia menegaskan bahwa artefak tidak boleh hanya dipusatkan di Jakarta, melainkan dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing, termasuk Aceh yang dikenal sebagai salah satu pusat peradaban Islam tertua di Nusantara.

“Kita harus hormati sejarah dan asal-usul benda itu. Kalau manuskrip dan artefak itu berasal dari Aceh, maka tempat kembalinya adalah Aceh. Karena di sanalah nilai sejarah, spiritual, dan kebanggaan masyarakatnya,” ucapnya.

Lebih lanjut, Hermansyah mengusulkan agar Pemerintah Aceh segera membentuk tim kajian ilmiah yang terdiri dari sejarawan, filolog, dan ahli warisan budaya untuk melakukan pendataan komprehensif terhadap artefak Aceh yang berada di luar negeri. Menurutnya, tanpa data yang valid, upaya menuntut pengembalian artefak akan sulit dilakukan secara sah melalui jalur diplomatik.

“Jangan sampai nanti ketika artefak itu dikembalikan, kita belum siap menerimanya, termasuk penyelamatan yang ada di dalam negeri. Harus ada tim ilmiah yang bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan keaslian, nilai dan asal-usulnya,” tutup Hermansyah. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI