Kamis, 20 November 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Penguatan Muatan Lokal Dinilai Jadi Jalan Menguatkan Identitas Budaya Aceh di Sekolah

Penguatan Muatan Lokal Dinilai Jadi Jalan Menguatkan Identitas Budaya Aceh di Sekolah

Kamis, 20 November 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Akademisi dan Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (USK), Mukhlis Hamid. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi dan Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (USK), Mukhlis Hamid, mengatakan bahwa inisiatif penguatan muatan lokal yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Murthalamuddin merupakan langkah strategis yang perlu segera ditindaklanjuti secara serius dan terstruktur.

Menurut Mukhlis, penjelasan dari Plt Kepala Dinas terkait penguatan lokal bukan hanya relevan, tetapi juga menjadi peluang besar untuk memperkuat identitas kebahasaan dan budaya Aceh melalui pendidikan.

Ia menilai Balai Bahasa Provinsi Aceh harus membuka ruang luas dengan berbagai program unggulan yang sangat mendukung agenda tersebut.

“Ini hal yang luar biasa. Balai Bahasa Aceh tidak hanya mengelola Bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa daerah dan bahasa asing. Salah satu program unggulannya adalah penyediaan buku-buku bacaan penguatan lokal, mulai dari perekaman cerita rakyat hingga penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing. Ini modal besar bagi penguatan budaya di sekolah,” ujar Mukhlis kepada media dialeksis.com, Rabu (19/11/2025).

Mukhlis menjelaskan bahwa kurikulum penguatan lokal sebenarnya sudah pernah dirancang, namun perlu diperbarui sesuai kebutuhan masa kini.

Menurutnya, kesempatan ini menjadi momentum penting untuk memadukan hasil-hasil kerja Balai Bahasa dengan kebutuhan pendidikan Aceh saat ini, termasuk di tingkat SD, SMP, hingga SMA.

“Kurikulum itu sudah ada, tinggal diperbarui. Kami di perguruan tinggi juga sedang mengembangkan buku pendidikan karakter berbasis penguatan lokal, berbasis hadih majah, cerita rakyat, hikayat, dan sumber budaya lainnya. Ini sejalan dengan program Kemendikdasmen yang kini fokus pada pendidikan karakter berbasis sumber-sumber lokal,” ungkapnya.

Selain itu, Mukhlis menilai SMA bukan satu-satunya tingkat Pendidikan yang perlu diperhatikan. Justru, bahan terbanyak tersedia untuk jenjang SD dan SMP, terutama berupa cerita rakyat, puisi, dan bacaan bermutu lainnya. Karena itu, ia menilai langkah Dinas Pendidikan untuk bersinergi sangat tepat dan harus segera dikerjakan.

Mukhlis ikut menekankan pentingnya digitalisasi seluruh bahan bacaan lokal yang telah dihasilkan Balai Bahasa, sehingga guru dapat memanfaatkan sumber pembelajaran dengan lebih fleksibel.

“Sekarang sudah ada buku digital. Semua produk Balai Bahasa bisa didigitalisasi, lalu dimanfaatkan sebagai bahan bacaan alternatif bagi siswa. Guru Bahasa Indonesia, atau guru lain yang diberikan tugas tambahan, dapat mengajar penguatan lokal dengan memanfaatkan bahan-bahan itu,” jelasnya.

Mukhlis juga menyebut bahwa meski belum ada sarjana khusus Pendidikan Bahasa Aceh, namun kolaborasi lintas guru dan mata pelajaran tetap dapat dilakukan untuk memastikan muatan lokal berjalan efektif.

Ketika dimintai rekomendasi kepada pemangku kebijakan daerah, Mukhlis menyampaikan tiga poin utama yang perlu segera dilakukan pemerintah dan sekolah dalam menguatkan muatan lokal.

Yang pertama, Mukhlis menekankan bahwa kurikulum harus disiapkan untuk seluruh jenjang pendidikan, tidak hanya SMA. Bahan yang tersedia sangat banyak untuk SD dan SMP, sehingga materi bisa langsung diadopsi ketika kurikulum direvisi.

Yang kedua dengan melaksanakan pelatihan bagi guru. Guru perlu dibekali pemahaman tentang cara memanfaatkan bahan bacaan lokal seperti cerita rakyat, puisi, hikayat, atau kisah tradisional dari berbagai etnis di Aceh.

Yang ketiga, menyiapkan sekolah sebagai ruang implementasi nyata. Mukhlis memberi contoh program sehari berbahasa daerah di Banda Aceh. Menurutnya, program semacam ini dapat dimaksimalkan bukan hanya pada sisi atribut pakaian tradisional, tetapi juga pada penggunaan bahasa daerah dan literasi lokal di kelas.

“Daerah lain juga bisa mengikuti, termasuk daerah non-penutur Bahasa Aceh seperti Gayo, Alas, Singkil, dan lainnya. Mereka punya cerita rakyat sendiri, punya warisan budaya sendiri. Ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan penguatan lokal dan pendidikan karakter,” kata Mukhlis.

Mukhlis menegaskan bahwa kalau seluruh daerah di Aceh bergerak bersama Dinas Pendidikan, Balai Bahasa, universitas, dan sekolah maka Aceh berpeluang menjadi model nasional dalam pengembangan pendidikan karakter berbasis budaya lokal.

“Ini kesempatan emas. Kalau bersinergi, Aceh bisa menjadi daerah yang kuat secara kebahasaan, beridentitas jelas, dan mampu membangun karakter siswa melalui warisan budaya sendiri,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI