Rabu, 08 Oktober 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Tradisi Maulid Tiga Bulan, Wujud Cinta Masyarakat Aceh kepada Rasulullah SAW

Tradisi Maulid Tiga Bulan, Wujud Cinta Masyarakat Aceh kepada Rasulullah SAW

Rabu, 08 Oktober 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Peneliti Filologi Melayu-Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Setiap kali bulan Rabiul Awal tiba, gema selawat dan lantunan barzanji mulai menggema dari balee, meunasah, hingga masjid di seluruh Aceh.

Namun berbeda dengan daerah lain yang memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW hanya sehari, masyarakat Aceh merayakannya selama tiga bulan penuh.

Fenomena ini bukan sekadar tradisi keagamaan, melainkan warisan budaya dan spiritual yang berakar dalam sejarah panjang masyarakat Serambi Mekkah.

Peneliti Filologi Melayu-Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, menjelaskan bahwa penghormatan masyarakat Aceh terhadap Maulid Nabi dapat ditelusuri dari berbagai aspek mulai dari sejarah, budaya, hingga manuskrip kuno yang diwariskan turun-temurun.

“Bagaimana masyarakat Aceh memuliakan Maulid Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dari berbagai sumber -- sejarah, tradisi, dan juga teks-teks klasik yang menjadi panduan keagamaan. Ini bentuk kecintaan yang hidup dan diwariskan,” ujar Hermansyah kepada media dialeksis.com, Rabu (8/10/2025).

Menurutnya, negara hanya menetapkan satu hari sebagai hari libur nasional untuk memperingati Maulid Nabi. Namun, di Aceh, kemuliaan hari kelahiran Rasulullah SAW disambut dengan rentang waktu yang jauh lebih panjang.

“Masyarakat Aceh mengenal Maulid selama tiga bulan, yang bahkan memengaruhi sistem penanggalan lokal. Dalam kalender Aceh dikenal istilah buleuen molod (Rabiul Awal), buleuen adoe molod (Rabiul Akhir), dan buleuen molod seuneulheuh (Jumadil Awal),” jelas Hermansyah.

Nama-nama tersebut bukan hanya sebutan waktu, tetapi juga simbol ritme sosial-keagamaan masyarakat. Di beberapa wilayah, istilah ini berbeda penyebutannya: Molod Awai (Maulid Awal), Molod Teungoh (Maulid Pertengahan), dan Molod Aceh (Maulid Akhir).

Meski telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, Hermansyah mengungkapkan bahwa hingga kini belum ditemukan referensi tertulis yang menjelaskan asal mula tradisi Maulid tiga bulan ini.

“Belum ada manuskrip yang secara eksplisit menyebut kenapa perayaan Maulid di Aceh dilakukan selama tiga bulan. Namun masyarakat meyakini ini tradisi baik leluhur yang membawa manfaat sosial dan spiritual,” katanya.

Menurutnya, tradisi tersebut kemungkinan besar berakar dari upaya para ulama dan teungku zaman dahulu dalam memperluas ruang dakwah dan memperkuat tali silaturahmi antar-gampong.

Melalui Maulid, masyarakat tidak hanya mengenang kelahiran Rasulullah SAW, tetapi juga memperkuat kebersamaan dan gotong royong.

Hermansyah menilai, untuk memahami akar tradisi ini secara ilmiah, perlu dilakukan penelusuran terhadap naskah-naskah lama atau manuskrip yang menuliskan kisah kelahiran Nabi dan puji-pujian kepadanya.

“Salah satu jalur pembuktian adalah dengan menelusuri berapa banyak naskah kuno yang berisi kisah kelahiran dan pujian kepada Rasulullah SAW. Ini bisa menjadi petunjuk penting dalam memahami kesinambungan tradisi Maulid di Aceh,” ujarnya.

Ia menyebut beberapa kitab yang biasa dibacakan masyarakat Aceh dalam rangkaian Maulid, seperti Nazam Keu Nabi dalam bahasa Aceh, serta kitab klasik yang berasal dari tradisi Islam global seperti Dalail al-Khairat karya Imam Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli, Maulid Barzanji karya Sayyid Ja’far al-Barzanji, Maulid ad-Diba’i karya Wajihuddin Abdurrahman az-Zabidi, dan Maulid Simthud Durar karya Imam Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.

Selain itu, Qasidah Burdah karya Imam al-Bushiri juga menjadi bacaan penting yang menggambarkan kerinduan mendalam penyair kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad SAW.

Kini, setiap perayaan Maulid di Aceh selalu disemarakkan dengan pembacaan kitab-kitab tersebut. Di setiap gampong, suara lantunan barzanji, syair, dan qasidah Maulid menggema bergantian dari satu tempat ke tempat lain.

“Kalau kita berjalan ke meunasah atau ke balee pada bulan Maulid, akan terdengar bacaan kitab Barzanji, Dalail al-Khairat, dan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tapi cermin kecintaan yang tulus,” tutur Hermansyah.

Baginya, setiap naskah dan bacaan yang dilantunkan pada bulan Maulid adalah jembatan rohani antara masyarakat Aceh masa kini dengan leluhur mereka yang menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW melalui ilmu dan budaya.

“Maulid di Aceh bukan hanya perayaan keagamaan. Ia adalah ekspresi kolektif yang menyatukan sejarah, tradisi, dan filologi dalam satu harmoni cinta kepada Nabi,” pungkas Hermansyah. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI