kip lhok
Beranda / Sosok Kita / Cerita Fadhilul Umami Jadi Sineas Muda di Aceh, dari Rintangan Sampai Pendapatan

Cerita Fadhilul Umami Jadi Sineas Muda di Aceh, dari Rintangan Sampai Pendapatan

Minggu, 07 Maret 2021 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni

Sineas muda sekaligus pendiri komunitas Alas Kaki Films, Fadhilul Umami A. Gani. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Setiap kegigihan menemukannya jalannya sendiri. Itulah yang dilakukan Fadhilul Umami A. Gani, salah seorang sineas muda di Aceh yang juga pendiri komunitas Alas Kaki Films.

Industri film di Aceh tak sederas di Jakarta yang keluar rumah saja sudah bersentuhan langsung dengan dunia audio visual. Namun tak membuat anak muda satu ini patah arang.

"Hobi ya tetap hobi. Kita senang saja ketika melahirkan karya sekaligus terus bertumbuh dan mengembangkan skill yang kita punya," ungkap Fadhil saat diwawancara Dialeksis.com, Minggu (7/3/2021).

Mulai terjun ke dunia film making sejak 2015 lalu, berbekal semangat dan visi yang sama, Fadhil bersama temannya yang lain seperti Teniro, Suhardiyono dan Srikal, mendirikan Alas Kaki Films pada 2016 lalu.

"Alhamdulillah saya bersama teman-teman sudah menghasilkan lebih kurang 12 karya. Baik itu di posisi sebagai sutradara, penulis naskah dan asisten sutradara," ungkap Fadhil.

Pria kelahiran Banda Aceh 30 Mei 1997 ini mengungkapkan, beberapa film yang diproduksinya bersama tim pernah diputarkan di luar Aceh seperti Redaksi Kupi Beungoh tahun 2018, diputar di salah satu Program Dewan Kesenian Jakarta.

Kemudian beberapa film karyanya bersama tim, ada yang diputar di Brawijaya Movie Exhibition dan diikutkan dalam beberapa festival film lainnya secara nasional.

"Kita sebagai anak-anak Aceh sangat senang ketika karya kita punya ruang di luar. Ini juga sekaligus bisa mengenalkan Aceh ke luar," ungkap putra dari pasangan Abdul Gani Isa dan Almarhumah Hasaninur itu.

Bicara pendapatan film maker di Aceh

Fadhil mengungkapkan, untuk saat ini para sineas muda di Aceh masih menggantungkan pendapatannya dari proyek-proyek serupa pembuatan iklan atau film pendek untuk perusahaan-perusahaan, UMKM dan juga dinas-dinas yang ada di Aceh.

"Kita mendapatkan pekerjaan untuk satu proyek itu bisa Rp 10-20 juta, bahkan lebih. Tapi ya namanya industri film di Aceh masih merintis, dibayar berapapun kita tetap terima," ungkap Fadhil.

Namun, lanjutnya, bila ingin pendapatan yang lebi stabil, bisa juga dengan mencoba bisnis dokumentasi wedding. "Syaratnya, belajar tentang kamera, editing dan belajar segala hal tentang audio visual, serta punya modal sedikit, terjun ke ranah dokumentasi wedding menjadi salah satu pilihan yang menggiurkan," kata Fadhil.

Meski demikian, baginya pendapatan bukanlah tujuan utama. Menurut Fadhil, salary hanyalah bonus dari skill dan pengalaman yang ia kembangkan selama ini.

Lebih lanjut, Fadhil berujar, sineas muda di Aceh atau yang baru terjun ke dunia film making, harus punya pekerjaan utama agar bisa survive menghidupi dirinya sendiri.

"Sambil jalankan pekerjaan utama, maka komunitas atau industri film yang kita dirikan, ya kita rintis sedikit-sedikit. Karena kita tahu industri film di Aceh masih bergerak melambat, tidak seperti di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia," ungkap pria yang kini tinggal di Ilie, Ulee Kareng itu.

Ia berpesan, kepada anak-anak muda khususnya di Aceh yang baru terjun ke dunia film agar tetap konsisten mengembangkan skill dan jangan patah semangat ketika menghadapi tantangan.

"Ketika memang suka dan hobi, ya pelajari dan cari teman-teman yang mau mendukung. Beberapa perusahaan film di Aceh atau komunitas film di Aceh, coba datangi. Senior-senior tentu mau membuka hati untuk berbagi. Kalau memang punya semangat, pasti mau belajar dan menemukan jalanya sendiri untuk sukses," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda