Muslahuddin Daud "Sang Bintang" Kepercayaan PDIP
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Ketika dia dinobatkan sebagai pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk provinsi Aceh, publik tidak lagi terkejut. Siapa yang tidak kenal dengan sang bintang yang selama ini sukes dalam beragam profesi.
Sosok aktivis masyarakat Aceh (Aceh Civil Society) juga mahir dalam memanfaatkan moment sebagai petani. Dia juga dikenal di lingkungan hidup, dunia pendidikan serta tokoh resolusi konflik.
Ketika PDIP menjatuhkan pilihan agar lelaki kelahiran Meuredu, 4 Juli 1973 untuk mengayuh bahtera banteng dalam lingkaran bulat ini, publik tidak lagi terkejut. Harapan muncul, agar partai ini mampu membawa perubahan, seperti apa yang sudah dilakukan Muslahuddin Daud selama ini.
PDIP Aceh pada Konferensi Daerah (Konferda) Propinsi Aceh, yang berlangsung di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Sabtu (3/8/2019), mempercayakan Muslahuddin Daud sebagai pucuk pimpinan dan Yunia Sofiasti ditunjuk sebagai sekretaris.
Publik sebelumnya sempat terkejut ketika Muslahuddin Daud menjadi Caleg PDIP pada tahun 2019 ini. Karena lelaki yang memiliki sejumlah talenta ini, tidak pernah terjun ke dunia politik.
Dialeksis.com memiliki catatan tentang Muslahuddin Daud. Selama ini dia dikenal sebagai sosok visioner. Dia dinobatkan sebagai sosok tokoh pertanian nasional. Dia dianugerahkan penghargaan karena komitmen dan dedikasinya dalam dunia pertanian.
Saat itu dia sudah bekerja di World Bank selama 13 tahun. Namun walau gaji di World Bank mencapai Rp 75 juta, dia memilih untuk menjadi petani propesional. Memang benar dia menjadi petani dan layak dijadikan pahlawan.
Tidaklah berlebihan ketika MNC TV, sebuah televisi swasta di Jakarta, pada tahun 2017 menganugerahkan gelar pahlawan pertanian Indonesia kepada tokoh NGO berbasis di Washington untuk program Pendidikan Damai Aceh ini.
Muslahuddin adalah sosok anak desa yang sudah merasakan asam pahitnya hidup ini. Dia menyelesaikan pendidikan dasar hingga SMU di Mereudu. Usai menggeluti buku di tanah kelahiranya, dia diterima di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, pendidikan SI Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris.
Saat pahit dilaluinya, demi memenuhi kebutuhan hidup selama kuliah, dia mau melakukan pekerjaan serabutan. Menjual rokok dengan mengantung kotak kayu ke leher sudah dilakoninya. Mengayuh becak dayung juga sudah menguji ketangguhan betisnya, ketika mendistribusikan telur kepelanggan.
Selain itu, mengajar di madrasah sampai berjualan kopi juga sudah menjadi sejarah hidupnya yang penuh dinamika. Tahun 1996 dia menyelesaikan kuliahnya. Kemudian meninggalkan Aceh mengadu nasip di Batam.
Tidak nyaman di batam, dia kembali ke tanah leluhurnya, dan menjadi tukang tambal ban pada tahun 1999 di depan Markas Brimob Jeulingke, kini menjadi kantor Polda Aceh.
Konflik Aceh, telah membuat Muslahuddin bangkit, menyuarakan keluhan rakyat. Dia bergabung dengan LSM (Yasindo dan Yakmi). Dia telaten dan mendapatkan kepercayaan, hingga bergabung dengan Henry Dunant Centre (HDC). Namun dia tidak lama di HDC.
Ketua PDIP Aceh ini menilai, perjanjian damai yang di jalankan oleh HDC tidak menjanjikan kesinambungan. Tidak lama kemudian pemerintah memberlakukan darurat militer di Aceh.
Muslahuddin ternyata menuai berkah. Sehari sebelum diberlakukan darurat militer dia diterima sebagai konsultan World Bank untuk tujuh wilayah konflik di Indonesia.
Namun dia disana hanya berkisar sekitar tujuh bulan. Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia tidak sepakat dengan proyek yang menggunakan terminologi konflik.
Aceh diamuk gempa dan tsunami. Saat pemulihan bencana itu, World Bank kembali mempercayakan Muslahuddin untuk pemulihan Aceh paska tsunami.
Dia dipercayakan mengelola uang sekitar Rp 8 trilyun. Dana itu dikelola melalui Multi Donor Fund dengan 15 program besar. Seperti infrastruktur, perumahan, kelestarian lingkungan dan pemberdayaan ekonomi.
Usai mengelola pemulihan bencana Aceh, kembali dia dipercayakan mengurusi program PNPM, dan persiapan dalam rancangan dan pelaksanaan UU Desa.
Namun seiring dengan perputaran waktu, Muslahuddin ahirnya memilih menjadi petani. Usaha yang dijiwainya membuahkan hasil, dia dinobatkan sebagai pahlawan pertanian nasional.
Lelaki yang peka dan bisa merasakan persoalan rakyat ini, ahirnya mengayuh bahtera dengan PDIP. Dia maju sebagai Caleg PDIP untuk DPR RI dari Dapil 1 Aceh. Namun cita citanya untuk duduk di Senayan "belum" tercapai.
Kini dia dipercayakan sebagai orang nomor satu di Aceh dalam menahodai layar PDIP priode 2019- 2024. Bagaimana perkembangan PDIP di Aceh ditangan lelaki yang sudah mengukir sejarah di Bumi Serambi Mekkah ini? *** Bahtiar Gayo.