DIALEKSIS.COM | Bandung - Usianya hampir setengah abad, namun peluh lelaki itu masih setia menetes di peron Stasiun Bandung. Ratam, kelahiran 1979, adalah satu dari sedikit forter pekerja jasa angkut barang yang menjaga roda hidup keluarganya lewat punggung dan tenaganya. Sejak 1998, tepat setelah lengsernya Presiden Soeharto, ia mulai menekuni pekerjaan ini.
Sebelum menjadi forter, Ratam hanyalah penjual koran. Dari subuh hingga pagi, ia menggelar tumpukan surat kabar di jalanan kota Bandung. Suatu ketika, ia bertemu dengan pimpinan Stasiun Bandung kala itu. "Kamu mau kerja di sini? Jadi forter saja," begitu kata-kata yang masih ia ingat. Tanpa pikir panjang, Ratam menerima tawaran itu. Baginya, pekerjaan ini bukan sekadar profesi, melainkan jalan hidup yang sudah lebih dari dua dekade digeluti.
Setiap hari, Ratam menunggu langkah para penumpang di pintu kedatangan. Rata-rata, tiga hingga empat orang menggunakan jasanya dalam sehari. Dari situ, ia membawa pulang Rp80 ribu hingga Rp100 ribu. Jumlah yang pas - pasan, cukup untuk membeli beras, lauk sederhana, dan kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Namun, ada hari-hari sepi yang membuat dada Ratam sesak. "Kadang tidak ada sama sekali yang pakai jasa saya. Pulang tangan kosong, bingung mau bilang apa ke anak-anak," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Istrinya hanya berjualan gorengan di depan gang rumah. Mereka hidup hemat, memutar otak agar dapur tetap berasap. Anak sulungnya kini duduk di bangku SMA, sementara dua lainnya seorang anak perempuan dan seorang laki-laki masih duduk di sekolah dasar.
Profesi forter, bagi sebagian orang, mungkin hanya pekerjaan kelas pinggiran. Tapi bagi Ratam, pekerjaan ini adalah pertarungan setiap hari. Ia tidak punya gaji tetap, tak ada jaminan kesehatan, tak ada asuransi. Semua bergantung pada ada atau tidaknya penumpang yang membutuhkan jasanya.
“Sukanya kalau ada penumpang yang ramah, kasih upah lebih, kadang juga sekadar terima kasih tulus. Itu bikin hati adem,” tutur Ratam. “Dukanya ya kalau nggak ada penumpang. Di rumah anak-anak nanya, ‘Ayah bawa apa?’ itu yang paling berat.”
Ketika ditanya apa arti pekerjaannya, Ratam tersenyum kecil. “Orang bilang kerjaan saya kecil, tapi bagi saya ini pekerjaan halal. Saya tidak pernah malu jadi forter. Selama tangan dan badan saya masih kuat, saya akan terus kerja. Saya bangga bisa menyekolahkan anak-anak dari hasil keringat sendiri,” ucapnya.
Ratam menegaskan, menjadi forter telah mengajarkannya tentang kesabaran, kerendahan hati, dan rasa syukur. “Setiap kali saya angkat koper penumpang, dalam hati saya berdoa: semoga anak saya nanti bisa jadi orang sukses. Jangan angkat barang seperti ayahnya, tapi bisa angkat nama keluarga dengan ilmunya,” katanya, lirih.
Di tengah hiruk pikuk kota, kisah Ratam adalah cermin dari banyak pekerja sektor informal yang terlupakan. Mereka ada di ruang-ruang publik, membantu orang lain dengan tenaga, namun hidup mereka sendiri kerap berada di batas tipis antara cukup dan kurang.
Setiap kali pundaknya menahan beban koper, sejatinya ia sedang memikul harapan tiga orang anak yang masih membutuhkan bimbingannya. Setiap kali tangannya menggenggam upah dari penumpang, ia sadar betul bahwa uang itu adalah secuil harapan untuk masa depan keluarganya. Ia juga harus berbagi jadwal kerja secara bergantian (shift) dengan para forter lainnya di Stasiun Bandung.
Ketika ditanya tentang harapannya, Ratam menyampaikan perlunya adanya peraturan atau regulasi yang secara khusus mengatur kehidupan para forter agar lebih jelas sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Ia bahkan sangat berharap Menteri BUMN maupun pimpinan perusahan dapat memberikan perhatian terhadap nasib para forter sehingga kesejahteraan mereka dapat semakin membaik di masa mendatang.
“Kadang saya iri lihat orang-orang bawa koper bagus, jalan dengan tenang. Saya ikut bahagia, tapi juga berdoa, semoga suatu saat anak-anak saya bisa jadi seperti mereka naik kereta bukan untuk cari nafkah, tapi menjemput masa depan,” ucapnya, menutup kisah.
Ratam hanyalah satu nama dari sekian ribu pekerja informal di negeri ini. Namun kisah hidupnya menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Hidup dengan keikhlasan, berjuang dengan kesabaran, dan berharap dengan doa tanpa henti.
Di peron Stasiun Bandung, di balik seragam lusuh dan wajah yang digurat matahari, tersimpan cerita keteguhan seorang ayah. Sebuah kisah yang semestinya membuat kita berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan bertanya: sudahkah kita benar-benar menghargai keringat orang-orang kecil yang menjaga roda kehidupan tetap berputar?