DIALEKSIS.COM | Tajuk - Penanganan bencana di Aceh kembali menguji keseriusan negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya. Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah kabupaten/kota bukan sekadar peristiwa alam, melainkan ujian nyata terhadap kapasitas negara dalam melindungi warganya. Dalam konteks inilah, polemik mengenai kerja sama internasional Pemerintah Aceh seharusnya dilihat secara jernih, objektif, dan berbasis hukum.
Secara normatif, landasan hukum kerja sama internasional Pemerintah Aceh sesungguhnya tidak menyisakan ruang tafsir yang meragukan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya Pasal 9 ayat (4), secara tegas memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk menjalin kerja sama internasional. Ketentuan tersebut kemudian diperjelas melalui Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 sebagai peraturan pelaksana.
Pandangan ini ditegaskan oleh Dr. Delfi Suganda, S.H.I., LL.M, Dosen Ilmu Administrasi Negara UIN Ar-Raniry. Menurutnya, baik UUPA maupun Perpres tersebut telah menyediakan fondasi hukum yang kuat dan sah bagi Aceh untuk bekerja sama dengan lembaga internasional, termasuk dalam bidang kemanusiaan dan penanggulangan bencana. Ruang kerja sama itu bahkan bersifat terbuka, selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum, stabilitas politik, dan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Dengan demikian, persoalan utama bukan terletak pada absennya dasar hukum, melainkan pada keberanian politik dan konsistensi implementasi kebijakan. Ketika regulasi sudah tersedia tetapi tidak dijalankan secara optimal, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar efektivitas pemerintahan, melainkan wibawa hukum itu sendiri. Hukum yang tidak dilaksanakan sama bahayanya dengan hukum yang tidak pernah dibuat.
Dalam konteks penanganan bencana, negara baik pusat maupun daerah memikul tanggung jawab yang tidak bisa ditawar. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan tegas menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab utama perlindungan masyarakat dari ancaman bencana. Hak korban atas bantuan darurat, pelayanan kesehatan, rasa aman, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi adalah kewajiban negara yang bersifat segera dan mendesak.
Kewajiban tersebut diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan negara untuk menjamin pelayanan kesehatan dalam situasi darurat, termasuk penyediaan tenaga medis, obat-obatan, layanan gizi, serta dukungan kesehatan mental. Dalam kondisi pascabencana, kegagalan memenuhi aspek ini berpotensi melahirkan krisis lanjutan berupa wabah penyakit dan trauma sosial berkepanjangan.
Namun demikian, kritik konstruktif perlu disampaikan. Penanganan bencana di Aceh kerap terhambat oleh lambannya koordinasi lintas sektor, tumpang tindih kewenangan, serta kehati-hatian berlebihan dalam mengambil keputusan strategis, termasuk dalam membuka akses bantuan internasional. Sikap ini, meski kerap dibungkus dengan alasan kehati-hatian politik, justru berisiko mengorbankan kepentingan korban bencana.
Pemerintah pusat seharusnya tidak memandang kerja sama internasional Aceh sebagai ancaman, melainkan sebagai penguatan kapasitas negara dalam menjalankan tanggung jawab kemanusiaan. Prinsipnya sederhana: selama berada dalam koridor hukum nasional, setiap bentuk bantuan yang mempercepat pemulihan masyarakat wajib difasilitasi, bukan dicurigai.
Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, “What counts in life is not the mere fact that we have lived. It is what difference we have made to the lives of others.” Dalam konteks bencana, perbedaan itu diukur dari seberapa cepat negara hadir, seberapa adil bantuan didistribusikan, dan seberapa besar keberpihakan kebijakan kepada korban.
Ke depan, Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat perlu membangun mekanisme kerja sama internasional yang transparan, akuntabel, dan responsif. Pemahaman utuh terhadap kekhususan Aceh harus menjadi titik berangkat kebijakan, bukan justru diabaikan oleh pendekatan sentralistik yang tidak sensitif terhadap kondisi daerah.
Penanganan bencana bukan sekadar urusan teknis atau prosedural. Ia adalah cerminan moral negara. Seperti diingatkan oleh Aristoteles, “The measure of a society is how it treats the weakest members.” Dalam situasi bencana, merekalah korban banjir, longsor, dan kehilangan yang seharusnya menjadi pusat dari setiap kebijakan, keputusan, dan kerja sama yang dijalankan.
