Senin, 21 April 2025
Beranda / Tajuk / Aceh Dalam Jaroe Pase

Aceh Dalam Jaroe Pase

Rabu, 16 April 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Aceh, wilayah yang kaya sejarah dan identitas kultural, kini menyimpan fenomena politik menarik. Fenomena “Jaroe Pase” suatu istilah yang akrab di telinga masyarakat Aceh, khususnya yang berasal dari daerah Pasai atau bagian utara menunjukkan bahwa posisi-posisi strategis di struktur pemerintahan cenderung diisi oleh para tokoh dari kawasan tersebut.

Dari jabatan gubernur hingga sekretaris daerah dan kepala Bappeda, dominasi para “pase” sudah menjadi fakta yang tidak bisa diabaikan. Kini, publik hanya menunggu waktu agar kursi ketua DPRA turut dipegang oleh figur dari Pase.

Terlepas dari aspek keahlian, penunjukan pejabat yang berasal dari daerah tertentu dalam suatu wilayah kerap menimbulkan persepsi adanya favoritisme dan kecenderungan politik patronase. Sebagai suatu fenomena, konsentrasi kepemimpinan dari satu kawasan, dalam hal ini Pase, mengundang pertanyaan dibenak publik apakah wajar dalam arena kekuasaan? Jawaban itu secara cepat bagi mereka berprespektif terbuka maka akan menjawab biasa saja dalam pengontrolan kekuasaan terhadap dominasi politik.

Walaupun image publik menilai penguasa yang selalu berasal dari latar belakang yang homogen, menurut teori elite politik, dapat menciptakan “ruang kekuasaan tertutup” yang sulit ditembus oleh elemen-elemen dari wilayah lain. Hal ini tentu berdampak pada dinamika pembangunan dan pemerataan kebijakan di seluruh wilayah Aceh.

Justifikasi itu gugur ketika pola pelayanan mengendepankan kepada kepentingan publik, karena mereka yang duduk bukan milik Pase lagi, tetapi milik seluruh masyarakat Aceh. Cara berpikir harus dibalik tindakan pengisi orang dari Pase tidak harus dimaknai eksklusif tetapi yang dinilai tindakan inklusifnya, melayani dan bekerja untuk kepentingan pembangunan, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Menurut teori jaringan politik (political network theory), kekuatan politik sering kali terakumulasi melalui jaringan hubungan kekeluargaan, sejarah politik lokal, maupun loyalitas wilayah. Dalam konteks Aceh, “Jaroe Pase” bisa dilihat sebagai manifestasi nyata dari teori tersebut.

Sebagaimana diungkapkan oleh akademisi terkemuka seperti Benedict Anderson, identitas regional memiliki kekuatan mobilisasi yang besar. Jika identitas dan jaringan ini terlalu dominan, maka pengambilan keputusan dalam pemerintahan bisa saja tidak sepenuhnya mencerminkan kepentingan publik secara menyeluruh, nah inilah tantangan untuk membuktikan apakah benar teori tersebut?

Jika tidak maka bisa disimpulkan teori itu gugur karena realitas menjawab berbeda tidak linear dari teori. Tapi mereka yang diisi dari orang Pase tetap bekerja dan berpihak kepada kemaslahatan masyarakat Aceh. Dari sudut pandang rasional, pengisian jabatan strategis oleh kelompok yang seragam secara geografis menyisakan celah dalam kebijakan pembangunan yang lebih komperhensif.

Aceh memiliki kekayaan sumber daya alam, budaya, dan potensi ekonomi yang tersebar di berbagai wilayah. Ketika fokus kekuasaan terkonsentrasi, pertanyaan yang muncul adalah: “Siapa yang berbicara untuk wilayah lain?” Keberagaman representasi dalam struktur pemerintahan sangat penting agar tiap wilayah dapat memperoleh perhatian yang proporsional dalam kebijakan pembangunan dan pengalokasian anggaran.

Intinya mereka dari Pase bertanggung jawab dan serius mengurusi pemerintahan, karena sistem hari ini dibuat pemerintah sudah sangat inklusif maka bisa dipastikan kerja melayani masyarakat tidak dipengaruhi polarisasi wilayah. Tetapi berpijak kepada mekanisme aturan dan perencanaan yang disusun secara bersama sama.

Bantahan lain sederhana menjawabnya, sistem dan mekanisme tata kelola pemerintah dalam konteks kekinian akan memperhatian pendistribusian pembangunan. Artinya ruang pemarginalan dan eksklusifitas tidak terjadi. Apalagi ketika ini dilakukan sangat merugikan dalam pengelolaan pemerintahan karena berdampak kepada stabilitas politik, pemerintahan, dan keamanan.

Untuk itu secara prespektif rasional sukar terjadi. Dalam kondisi saat ini, dominasi para tokoh Pase seolah menjadi benang merah yang mengaitkan seluruh lini pemerintahan di Aceh. Namun, apa yang kelihatannya sebagai kekuatan juga bisa menjadi kelemahan apabila tidak diimbangi dengan prinsip keadilan dan pemerataan. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat Aceh hendaknya merenungkan kembali dinamika ini, sehingga pada akhirnya, struktur pemerintahan yang inklusif dan benar-benar representatif dapat terwujud.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar