kip lhok
Beranda / Tajuk / Ambisi Tanpa Etika: Pejabat Tak Mundur Kandas di Pilkada

Ambisi Tanpa Etika: Pejabat Tak Mundur Kandas di Pilkada

Minggu, 04 Agustus 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Jangan ambius untuk menggapai harapan dengan menghalakan segala cara. Ambisi tanpa etika, bahkan menghalalkan segala cara akan berbuah petaka.

Fenomena pejabat yang enggan melepas jabatannya saat mencalonkan diri dalam Pilkada kembali menjadi sorotan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa keengganan untuk mundur ini justru berujung pada kekalahan telak di arena pemilihan. Ini menjadi bukti nyata bahwa ambisi politik tanpa dilandasi etika yang kuat hanya akan berakhir dengan kegagalan.

Dalam karyanya "Politik Sebagai Panggilan", Max Weber memperkenalkan konsep "etika tanggung jawab" (ethics of responsibility) dalam politik. Weber menekankan bahwa politisi harus mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka, bukan hanya niat baik. 

Pejabat yang tidak mundur saat mencalonkan diri jelas mengabaikan prinsip ini, menciptakan konflik kepentingan yang berpotensi merugikan publik.

John Rawls, dalam teori keadilannya, mengajukan konsep "selubung ketidaktahuan" (veil of ignorance) sebagai dasar untuk membuat keputusan yang adil. Jika para pejabat ini membayangkan diri mereka berada di posisi rakyat, tanpa mengetahui status mereka sendiri, mungkinkah mereka akan tetap mempertahankan sikap tidak mundur tersebut?

Masyarakat semakin cerdas dalam menilai integritas para calon pemimpinnya. Hal ini sejalan dengan teori pilihan rasional (rational choice theory) yang dikemukakan oleh Anthony Downs, di mana pemilih dianggap mampu membuat keputusan berdasarkan evaluasi kritis terhadap kandidat. 

Kekalahan para pejabat yang tidak mundur ini menunjukkan bahwa pemilih mampu melihat di balik janji-janji kampanye dan menilai karakter calon berdasarkan tindakan nyata mereka.

Robert K. Merton, dalam analisisnya tentang disfungsi birokrasi, mengingatkan kita tentang bahaya "goal displacement" dimana means (cara) menjadi ends (tujuan) itu sendiri. Pejabat yang mempertahankan posisinya sambil mencalonkan diri bisa dilihat sebagai contoh nyata dari fenomena ini, dimana mempertahankan kekuasaan menjadi tujuan utama, mengalahkan esensi pelayanan publik.

Sudah saatnya kita memperketat regulasi terkait pencalonan pejabat dalam Pilkada. Seperti yang diargumentasikan oleh Jürgen Habermas dalam teori demokrasi deliberatifnya. Kita perlu menciptakan ruang publik yang lebih terbuka untuk mendiskusikan dan menegakkan standar etika politik yang lebih tinggi.

Kekalahan para pejabat yang enggan mundur ini menjadi sinyal kuat bahwa era politik tanpa etika sudah berakhir. Mengutip Amartya Sen, pembangunan sejati harus dipahami sebagai proses memperluas kebebasan substantif rakyat. 

Dalam konteks ini, integritas pemimpin menjadi kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan demi kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.

Bagi para pejabat dan politisi, ini adalah momen untuk merefleksikan kembali motivasi dan cara mereka dalam berpolitik. Ambisi boleh tinggi, tetapi harus selalu berpijak pada etika dan kepentingan rakyat. 

Hanya dengan demikian, kita bisa berharap untuk membangun sistem politik yang benar-benar melayani kepentingan publik. Publik punya etika, tentunya mereka juga akan memilih pemimpi yang beretika. Jangan kita menghadirkan bencana karena kita tidak beretika.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda