Selasa, 13 Mei 2025
Beranda / Tajuk / Golkar Aceh: Ujian Pembaharuan di Bawah Bayang Dinasti

Golkar Aceh: Ujian Pembaharuan di Bawah Bayang Dinasti

Senin, 12 Mei 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Bendera dan logo Partai Golkar. ANTARA/Ardika


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Partai Golkar Aceh sedang diuji. Di tanah yang pernah menjadi medan konflik berkepanjangan, partai berjuluk “Beringin” ini justru terancam mandek dalam kubangan politik warisan. 

Masih adakah ruang bagi pembaharuan ketika rezim lama bersikeras bertahan, mengakali atau ingin melampaui batas waktu yang diatur AD/ART? Ataukah Golkar Aceh akan menjadi monumen bisu dari sebuah era yang telah usai?

Sejak reformasi 1998, Golkar Aceh tak pernah benar-benar melepaskan diri dari jerat kepemimpinan yang otoriter dan tertutup. Kaderisasi hanya jadi pemanis bibir, sementara posisi strategis masih dirotasi di antara lingkaran elite yang sama. 

Padahal, partai seharusnya menjadi sekolah demokrasi bukan panggung bagi dinasti politik yang menggerus kepercayaan publik. Jika praktik tukar guling jabatan terus dipertahankan, Golkar Aceh hanya akan menjadi partai zombie: hidup di atas kertas, mati dalam aksi.

Kader muda Aceh kini menuntut lebih dari sekadar janji. Mereka menginginkan transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan, serta jaminan bahwa partai tidak lagi jadi kendaraan ambisi segelintir orang. 

Persoalannya, mampukah Golkar Aceh memutus mata rantai oligarki yang telah membajak suara kader? Dalam setiap obrolan di kedai kopi Banda Aceh, satu pertanyaan terus menggema: Siapa pemimpin Golkar Aceh yang berani melawan arus? 

Kader mengidamkan sosok yang tidak menjadikan jabatan sebagai ATM politik untuk kepentingan klan atau kelompok. Mereka merindukan ketua yang visioner, mampu membaca denyut nadi zaman, sekaligus berani menolak godaan shortcut kekuasaan.

Sayangnya, bayang - bayang otoritarianisme masih menghantui. Jangan sampai ada ketua cabang yang bertindak seperti raja kecil, menggunakan anggaran partai untuk foya-foya, atau mengorbankan kepentingan konstituen demi proyek pragmatis. 

Jika budaya ini tak dihancurkan, Golkar Aceh hanya akan jadi tontonan usang dalam panggung politik lokal.

Di luar hiruk - pikuk jelang Musyawarah Daerah (Musda) di bulan Juni, Golkar Aceh sesungguhnya punya pekerjaan rumah yang konkret: membuktikan diri sebagai partai yang relevan bagi rakyat.

 Aceh bukan hanya darurat regenerasi politik, tetapi juga darurat ekonomi. Angka pengangguran terbuka di provinsi paling ujung ini, sementara itu geliat UMKM Aceh kesulitan akses modal. Di sinilah Golkar harus hadir dengan program nyata bukan sekadar jargon.

Jika ingin disebut “pro-pembaharuan,” Golkar Aceh wajib mengusung blueprint ekonomi yang revolusioner. Partai juga harus memaksa pemerintah pusat memperjelas masa depan dana Otonomi Khusus (Otsus) pasca 2027. 

Jangan sampai Aceh kembali menjadi “anak tiri” hanya karena elite partai sibuk berebut kursi. Tantangan lain ada di meja legislatif. Golkar Aceh harus menjadi penggerak revisi qanun-qanun yang mandul, terutama terkait pengelolaan PAD.

Selama ini, Aceh terlalu bergantung pada dana pusat (73% APBD Aceh berasal dari transfer pusat), sementara potensi migas, pariwisata, dan pertanian terbengkalai. Tanpa keberanian mengubah regulasi, provinsi ini hanya akan jadi penonton dalam pesta otonomi daerah.

Namun, semua agenda ini mustahil tercapai jika elektabilitas Golkar Aceh tetap stagnan tidak signifikan penambahan kursi hanya bertahan di 9 kursi. 

Untuk mengejar target 15 - 30% di Pemilu 2029, partai harus melakukan terobosan: membuka diri pada kader muda, merangkul komunitas sipil, dan menampilkan wajah yang bersih dari praktik KKN. Tanpa itu, Golkar hanya akan jadi underdog dalam percaturan politik Aceh.

Golkar Aceh kini berada di ujung tanduk. Pilihannya hanya dua: menjadi pelopor pembaharuan atau tenggelam dalam nostalgia kejayaan masa lalu. 

Masyarakat Aceh sudah terlalu lelah dengan drama politik yang tidak membumi. Mereka butuh partai yang mendengar jerit UMKM, memperjuangkan nasib masyarakat kecil butuh pekerjaan, anak muda butuh ruang kreatifitas, atau memastikan dana Otsus sampai ke tangan yang tepat.

Ketua Golkar Aceh mendatang haruslah seorang game changer bukan status quo defender. Jika tidak, partai ini akan dikenang sebagai organisasi yang gagal beradaptasi, digerus oleh zaman yang menuntut keterbukaan dan inovasi.

Catatan Dialeksis, Partai ini tidak hanya mengingat bahwa mereka pernah berhenti di di zona nyaman, namun harus berani menantang arus.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas