DIALEKSIS.COM | Tajuk - “Tak ada asap kalau tak ada api.” Peribahasa itu tepat untuk menggambarkan kasus korupsi pengadaan wastafel cuci tangan di Aceh pada masa pandemi COVID - 19. Upaya pencegahan penyebaran virus justru berubah menjadi ladang korupsi yang kini menyeret nama Syifak M Yus sebagai tersangka utama.
Proyek pengadaan wastafel ini dikerjakan oleh 30 orang dengan memanfaatkan 219 perusahaan. Dalam persidangan terungkap bahwa prosesnya berlangsung tanpa evaluasi administrasi, teknis, maupun harga. Tidak ada negosiasi, tidak ada pembuktian kualifikasi, semuanya berjalan karena “perintah dari atas.”
Fakta lain yang mengejutkan, Syifak M Yus justru mendapat porsi terbesar. Dari total proyek senilai Rp43,5 miliar (bersumber dari APBA 2020 untuk penanganan COVID-19), Syifak mengelola 159 paket, dengan nilai sekitar Rp15 - 16 miliar.
Audit BPKP Aceh menemukan kerugian negara mencapai Rp7,2 miliar akibat proyek ini.
Penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh telah memanggil seluruh pemilik perusahaan yang dipinjam namanya. Nilai pengembalian dana bervariasi, dari Rp2 juta, Rp4 juta hingga Rp 12 juta per perusahaan. Setiap paket bernilai antara Rp90 juta hingga Rp120 juta, sebuah jumlah yang fantastis hanya untuk satu unit wastafel sederhana.
Kuat dugaan, aliran proyek jumbo ini tidak lepas dari jejaring kuasa. Hubungan keluarga, pertemanan, hingga kedekatan dengan elite pengambil keputusan saat itu (gubernur, sekda, hingga kepala dinas keuangan) perlu dibongkar secara transparan. Karena sangat jelas paket ini diatur dan dipecah menjadi PL (penunjukan langsung).
Kasus ini bukan hanya soal Syifak memperkaya diri. Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 12 huruf i, menegaskan bahwa penyalahgunaan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain tetap tergolong tindak pidana korupsi. Ancaman hukumannya berat, penjara seumur hidup atau 4“20 tahun, serta denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Apalagi, proyek ini dijalankan dalam kondisi bencana nonalam (pandemi COVID-19). Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menegaskan, korupsi dalam keadaan darurat dapat diperberat dengan hukuman mati.
Korupsi di tengah bencana bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan kejahatan kemanusiaan yang mengancam nyawa dan masa depan bangsa. Karena itu, publik menunggu kejujuran Syifak M Yus agar ia tidak sekadar “mencuci tangan” untuk dirinya sendiri, tetapi juga mengungkap siapa saja yang tangannya kotor dalam kasus ini.
Instruksi Presiden RI Prabowo Subianto jelas, pemberantasan korupsi harus dilakukan sampai ke akar-akarnya. Aparat penegak hukum di Aceh wajib menuntaskan kasus ini secara terang benderang, tanpa pandang bulu.
Kasus wastafel COVID-19 ini adalah ujian serius, apakah hukum di Aceh bisa berdiri tegak, atau hanya akan menyisakan Syifak sendirian di kursi pesakitan, mari kita nantikan.[]