kip lhok
Beranda / Tajuk / Politik Perkauman di Aceh Era Terkini

Politik Perkauman di Aceh Era Terkini

Jum`at, 17 Mei 2024 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi politik perkauman di Aceh. Foto: rumahpemilu.org


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Sejarah kerap memberi pelajaran, bahwa praktik politik perkauman selalu membelenggu kemajuan suatu daerah. Aceh menjadi salah satu wilayah yang tak luput dari jeratan permainan busuk tersebut.

Ironi terjadi, ketika para elit memupuk sikap pragmatis dan oportunis ketimbang merangkul keberagaman untuk membangun semangat persatuan.

Selama dua dekade pasca konflik, derap politik perkauman telah mengerdilkan harapan rakyat Aceh. Bukannya mengangkat kemakmuran, para wakil rakyat malah terjebak dalam lingkaran “setan” oligarki dan hegemoni kekuasaan. 

Bermain dengan cara membersihkan lawan-lawan politik sebelum mengangkat kader sendiri, adalah pola yang kerap dilakoni kubu-kubu perkauman di bumi serambi Mekkah, bagaikan sudah menjadi tradisi.

Efeknya, stabilitas politik acap terganggu. Terhentinya penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh, rotasi pejabat yang cacat prosedural, hingga upaya mobilisasi masa untuk meraih kemenangan dengan cara apa pun, sudah menciderai nilai-nilai keadilan dan kemakmuran bersama. 

Bahkan, bisa berujung konflik horizontal dan vertikal yang terbuka lebar, jika praktik tercela ini dipertahankan. Anehnya siapa pun pemimpinnnya tanpa sadar jadi boneka dan dimanfaatkan dari kelompok mereka, mengatasnamakan kebersamaan politik perkauman. 

Atau malahan sebaliknya tercipta satu sistem simbiosis mutualisme yang diikat pada kebutuhan dan kepentingan yang sama.

Lebih jauh, politik perkauman juga menyuburkan distorsi kebijakan publik. Kebutuhan dan kepentingan kelompok sempit kerap kali menjadi panglima. Menggeser orientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. 

Tidak aneh bila kemudian pembangunan menjadi tidak merata dan ketimpangan sosial melebar di provinsi ini, walau kekayaan alam yang begitu melimpah ruah.

Praktik ini tidak hanya merusak rasa senasib dan sejiwa bangsa Aceh semata. Namun juga mengkhianati gagasan demokrasi substantive. 

Lihatlah bagaimana demokrasi seperti yang didefinisikan Joseph Schumpeter. Menurutnya, demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan kehendak rakyat. Ada juga analisa lainya dari Robert Putnam dalam teori "Bowling Alone" bahkan menegaskan fenomena serupa mampu menggerogoti modal sosial dan kohesi sosial di tengah masyarakat.

Melihat fenomena ini, sudah saatnya para elit Aceh menyadari bahwa daerahnya memiliki potensi besar untuk maju dan sejahtera. 

Kekayaan alam, budaya, dan dinamika masyarakatnya adalah modal berharga yang semestinya dioptimalkan melalui kepemimpinan visioner. Namun, semua itu akan terhambat bila jeratan politik perkauman terus dipelihara.

Aceh butuh pemimpin yang merangkul seluruh komponen masyarakat, ketimbang menjadi representasi ambisi kekuasaan sesaat kelompok ‘kaum’ tertentu. 

Solusinya terletak pada bagaimana pendidikan politik dan kesadaran kolektif dibangun untuk membendung nafsu berlebih multi pihak berada di perkauman tersebut. Bila tidak, kemunduran dan kehancuran serta ketegangan akan terus merongrong kohesi di Serambi Mekkah. 

Apakah persoalan ini terus menjadi pusaran perpolitikan di Aceh, sudah saatnya kita berbenah, karena negeri ini milik semua, milik kita bersama.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda