DIALEKSIS.COM | Tajuk - Absennya Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam daftar awal Prolegnas Prioritas 2025 sempat memicu keresahan, karena UUPA adalah fondasi utama kekhususan Aceh pasca MoU Helsinki 2005. Namun berkat lobi intensif Forbes Aceh, revisi ini akhirnya masuk sebagai tambahan prioritas legislasi. Meski demikian, keputusan itu baru langkah awal; perjuangan sesungguhnya adalah memastikan pembahasan tuntas hingga pengesahan.
Revisi UUPA sangat penting karena menyangkut isu strategis, terutama keberlanjutan Dana Otsus Aceh yang akan berakhir 2027. Usulan perubahan mencakup 10 pasal dan 1 pasal baru, antara lain: perpanjangan Dana Otsus sebesar 2,5% DAU tanpa batas waktu, penegasan kewenangan Aceh atas migas dan perikanan, zakat sebagai pengurang pajak, serta pembentukan auditor independen. Semua ini dirancang agar kekhususan Aceh tetap relevan, efektif, dan adil.
Taruhannya besar jika revisi ini gagal, maka Aceh bisa kehilangan aliran Dana Otsus senilai hampir Rp100 triliun sejak 2008, yang selama ini menopang pembangunan dan pemulihan pascakonflik.
Selain itu, peluang memperkuat kewenangan pengelolaan SDA, fiskal, dan syariat bisa hilang, menimbulkan kekecewaan masyarakat dan menggerus kepercayaan pada pemerintah pusat.
Karena itu, peran Forbes Aceh, Pemerintah Aceh, dan elemen masyarakat sipil harus makin solid mengawal proses ini. Partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan, baik melalui dukungan moral, advokasi, maupun pengawasan publik agar tidak ada pasal yang terabaikan atau dipangkas.
Kepedulian kolektif inilah yang akan memastikan revisi UUPA benar-benar masuk dalam Prolegnas Prioritas dan diwujudkan menjadi undang-undang yang sah.
Revisi UUPA adalah lebih dari sekadar hukum; ia adalah simbol komitmen merawat perdamaian dan keadilan. Jika Aceh telah menunaikan janjinya menjaga damai, kini giliran negara dan seluruh elemen bangsa memastikan janji otonomi itu ditepati.