Beranda / Berita / Aceh / 650 Anak di Aceh Ajukan Dispensasi Kawin Sepanjang 2024, Psikolog Peringatkan Risiko Pernikahan Dini

650 Anak di Aceh Ajukan Dispensasi Kawin Sepanjang 2024, Psikolog Peringatkan Risiko Pernikahan Dini

Senin, 13 Januari 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Direktur Psikodista Konsultan, Dra. Nur Janah Yazid Al-Sharafi. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sepanjang 2024, Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat sebanyak 650 anak di Provinsi Aceh mengajukan permohonan dispensasi kawin. Permohonan ini bertujuan untuk memperoleh izin menikah sebelum mencapai usia minimum 19 tahun, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019.

Dispensasi kawin hanya diberikan dalam kondisi tertentu yang mendesak dan tak memiliki alternatif lain. Aturan ini mengacu pada prinsip ultimum remedium, di mana pernikahan dini dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Lebih mendalami fenomena dispensasi kawin Anak di Aceh Dialeksis (13/01/2025) menghubungi, Direktur Psikodista Konsultan, Dra. Nur Janah Yazid Al-Sharafi, Psikolog, menyebutkan bahwa faktor penyebab pengajuan dispensasi kawin bisa beragam. 

"Apakah ini karena kemauan anak sendiri atau desakan orang tua? Atau mungkin karena kekhawatiran akan pergaulan bebas? Ada pula kemungkinan alasan lain seperti persoalan warisan atau perjanjian antar keluarga,” katanya kepada Dialeksis.

Meski begitu, Nur Janah menegaskan bahwa pernikahan di usia dini berisiko tinggi. 

“Pernikahan membutuhkan kesiapan psikologis, mental, ekonomi, dan fisik. Anak yang menikah terlalu muda biasanya belum mencapai kematangan dalam aspek-aspek tersebut,” ujar dia.

Nur Janah lanjut menjelaskan sejumlah risiko yang dapat muncul akibat pernikahan dini, antara lain; kesehatan Anak perempuan yang belum matang secara fisik berpotensi mengalami komplikasi selama kehamilan, persalinan, hingga menyusui.

Selain itu, kata Nurjanah, dari sisi ekonomi pasangan muda yang belum mandiri finansial berisiko menghadapi masalah ekonomi, termasuk kemiskinan dan ketergantungan.

“Ketidakmatangan emosi dan keterbatasan kemampuan menyelesaikan konflik dapat meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, bahkan dampak nyata lainnya anak, terutama perempuan, sering kehilangan peluang untuk melanjutkan pendidikan dan berkarier,”jelasnya lagi. 

“Tekanan dalam pernikahan dini dapat memicu gangguan kesehatan mental dan penyesuaian diri,” tambahnya.

Untuk mencegah meningkatnya angka pernikahan dini, Nur Janah menyarankan sejumlah langkah, dibutuhkan pemahaman remaja terhadap memahami hukum pernikahan dalam Islam (munakahat) serta pentingnya menjaga kesehatan reproduksi.

Selain itu, ia mengungkapkan lagi, Rremaja perlu memahami hukum pernikahan dalam Islam (munakahat) serta pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, mendorong remaja untuk terlibat dalam aktivitas positif sehingga energi mereka tersalurkan dengan baik.

Pemerintah diharapkan menyediakan pusat konseling remaja yang mudah diakses, baik secara daring maupun luring, untuk membantu mereka menghadapi persoalan tanpa terburu-buru menikah.

“Pencegahan jauh lebih baik daripada mengobati dampak buruk di kemudian hari. Masa depan generasi muda sangat bergantung pada bagaimana kita memberikan edukasi dan dukungan yang tepat,” pungkas Nur Janah.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI