kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Curhatan Mantan Karyawan Minimarket, dari Kebijakan Menyebalkan hingga Rutinitas Menyengsarakan

Curhatan Mantan Karyawan Minimarket, dari Kebijakan Menyebalkan hingga Rutinitas Menyengsarakan

Kamis, 19 Mei 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Ilustrasi. [Foto: Istimewa]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjadi karyawan minimarket bukannya senang bisa kerja bersama tim, eh malah jadi cukup menyebalkan. Begitulah curhatan hati salah seorang kenalan saya bernama Mukidi.

Mukidi bukanlah nama sebenarnya. Ia meminta saya untuk menyamarkan nama aslinya ketika artikel ini dipublikasikan. Mukidi merupakan salah satu mantan karyawan minimarket yang ada di Aceh. Dari pengalamannya sebagai pegawai minimarket, ia banyak berkeluh kesah kepada saya mengenai pekerjaannya.

Diantara sekian banyak pengalaman yang diceritakan, saya lebih tertarik menyimak mengenai kebijakan NBH/NSB yang ditetapkan perusahaan bisnis retail minimarket. Sebab, ketika ada barang yang hilang, para karyawan ini harus memangkas gaji mereka untuk mengganti rugi barang hilang tersebut.

Sebelum mendengar cerita Mukidi lebih lanjut, alangkah baiknya pembaca mengenal lebih dulu apa itu NBH/NSB. NBH atau NSB merupakan singkatan dari Nota Barang Hilang/Nota Selisih Barang. Adanya NBH/NSB di sebuah perusahaan sebenarnya untuk memperkecil kerugian perusahaan serta untuk dapat mengontrol karyawannya agar tidak berbuat curang atau culas. Makanya banyak bisnis retail menerapkan kebijakan seperti ini.

Malam itu, Rabu (17/5/2022), saya dan Mukidi lagi menghabiskan waktu mengobrol bersama di salah satu warung kopi yang ada di Simpang Tungkop, Aceh Besar. Banyak hal yang kami bicarakan di sana, mulai dari bagaimana menjadi sosok pria idaman para wanita hingga hal-hal absurd lainnya.

Di saat masuk topik pembicaraan mengenai pekerjaan, Mukidi mulai bercerita pengalaman kerjanya. Tak seperti apa yang dilihat orang-orang, ternyata tuntutan kerja menjadi karyawan minimarket cukup berat untuk dilalui Mukidi.

“Kenapa barang-barang minimarket suka hilang?” tanya saya kepada Mukidi.

Mukidi menjelaskan, sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan barang di minimarket suka gaib. Pertama, karena ketidaktelitian personil antara suplier. Ceritanya begini, ketika suplier mengantar barang ke toko, biasanya pihak suplier akan memberikan secarik kertas bermuatan data-data semua jumlah barang. Misalnya, item A berapa biji, dan item B berapa biji. 

Nah, supaya tidak ada kekeliruan pada saat penghitungan stock opname nanti, maka para personil diharuskan menghitung ulang semua jumlah stock barang, dan menurut Mukidi, dalam proses itulah kadang-kadang menyebabkan jumlah barang menjadi gaib. Luput dari pendataan.

Kedua, karena barang rusak. Barang rusak, kata Mukidi, tidak bisa dijual dan juga tidak bisa dikembalikan kepada suplier karena itu sudah menjadi tanggungan toko. Makanya, barang rusak masuk ke NBH/NSB. 

Ketiga, memang ada orang yang ambil, bisa jadi yang ambil adalah orang internal atau bisa saja dari eksternal. Tapi menurut Mukidi, kecurangan yang dilakukan pihak eksternal kalau di Aceh jarang terjadi. Seringnya dari sisi internal, sesama karyawan yang suka berbuat curang menggelapkan barang. Entah itu untuk sekedar dikonsumsi sendiri atau dibawa pulang.

Saya lanjut bertanya kepada Mukidi, “Bagaimana mekanisme nombok barang hilang?”

Ia menjawab, sesuai kebijakan perusahaan biasanya semakin tinggi jabatan maka jatah potong gaji untuk menutupi barang hilang juga akan bertambah. Dalam artian, persentase untuk nombok barang hilang antar jabatan bayarnya beda-beda.

Namun naas bagi Mukidi. Di minimarket tempat Mukidi bekerja, sistem bayar NBH/NSB itu dipukul rata semua. Tidak ada hitung-hitungan persentase, semua personil bayar sama rata semua.

Semakin dalam Mukidi bercerita, semakin membuat saya penasaran. Saya tanya ke dia, “bagaimana cara orang-orang di toko itu bisa menggelapkan barang?”

Berdasarkan jawaban Mukidi, ternyata ada seni untuk menggelapkan barang minimarket. Seni yang paling tidak berkelas ialah, karyawan itu ambil barang di gudang, barcodenya nggak discan, terus kalau yang diambil makanan maka dimakan, kalau barang lainnya dibawa pulang. Nah, nanti pada akhir bulan, barang yang digelapkan itu akan dinombok sama-sama oleh semua personil karyawan minimarket.

Seni lainnya, karyawan itu memanipulasi harga barang. Caranya ketika ada konsumen hendak membayar ke kasir, karyawan yang menggelapkan barang itu akan menyelipkan harga barang ke dalam struk pembelian konsumen, sehingga konsumenlah yang nombok barang yang digelapkan tanpa sepengetahuan.

Meskipun begitu, Mukidi mengklaim kalau tidak semua karyawan minimarket suka berbuat curang semua. Karena ada juga karyawan yang bekerja jujur tanpa menyentuh sedikitpun barang yang bukan hak milik mereka.

Memang jawaban Mukidi membuat saya geleng-geleng kepala. Saya tidak menyangka akan ada permainan penggelapan yang terjadi seperti itu di minimarket. 

Karena dirasa sudah cukup membahas mengenai NBH/NSB, saya lanjut mengulik jawaban lain dari Mukidi. 

“Adakah hal lain yang lebih menyebalkan selain harus bayar ganti rugi barang hilang?” tanya saya kepada Mukidi.

“Tentu saja saja ada,” Jawab Mukidi. 

Dalam hati saya membatin, ini orang kenapa apes mulu hidupnya ya.

Jadi yang disebelin Mukidi selain NBH/NSB ialah kejar target penjualan barang. Bagi Mukidi, pekerjaan kejar target ini cukup menguras mental dirinya, karena setiap harinya selalu ada target yang harus dicapai.

Kata Mukidi, tidak ada alasan kalau target itu tidak tercapai. Bagaimanapun caranya target itu harus dicapai. Kalau tidak tercapai, punishment (konsekuensinya) macam-macam. Ada yang ditambah jam kerja hingga dimarahi atasan.

Masalahnya, target yang harus dicapai itu cukup memberatkan karyawan. Semisal di dalam satu shift kerja harus mampu menjual 50 pics item barang yang masuk ke dalam kategori promo. Nah, itu baru satu kategori target, belum lagi ditambah dengan kategori target lainnya, seperti tebus murah, e-voucher, aktivasi member dan lain-lain yang harus dicapai dalam satu shift kerja.

Masalah lain yang mengekor dari kejar target ini ialah, Mukidi hanya bisa menawarkan barang kepada konsumen. Mukidi tidak punya kuasa untuk memaksa konsumen harus beli barang-barang yang masuk ke dalam target.

Makanya, terkadang Mukidi demi mencapai target harus rela membayar sendiri barang-barangnya dengan cara menitip pada para konsumen. Memang kebijakan perusahaan tidak mewajibkan seperti itu. Tetapi dengan adanya tambahan jam kerja, surat pernyataan tidak akan mengulangi kejadian seperti ini, surat peringatan, dimarahi atasan karena tidak tercapai target cukup membuat mental Mukidi tertekan.

Semakin dalam saya mengulik cerita Mukidi membuat saya semakin ingin menyudahi pembicaraan itu. Saya sebenarnya tidak kuat mendengar cerita dia, apalagi Mukidi merupakan seorang teman yang sudah saya kenal cukup lama. Raut wajahnya menyiratkan banyak hal kepada saya, antara kekecewaan dan rasa lega karena ada sosok yang mau mendengar cerita kehidupannya.

Saya berjanji kepada Mukidi untuk menanyakan dua pertanyaan terakhir sebelum sesi wawancara ini kami sudahi. 

“Kenapa kamu bisa kerja di minimarket. Apakah kamu tidak tahu sistem kebijakannya akan seperti ini?” tanya saya.

Alasan Mukidi lamar kerja di minimarket cukup sederhana. Karena memang pada saat itu Mukidi lagi cari-cari pekerjaan. Sebelum itu, Mukidi banyak melempar lamaran kerja dimana-mana, kebetulan saja yang terpanggil duluan dari pihak minimarketnya. 

Mukidi mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak mengetahui akan ada sistem kebijakan seperti itu di minimarket. Kalau dia tahu, mungkin dia akan pikir dua kali untuk kerja di minimarket.

Saat ini, Mukidi sudah lama resign dari pekerjaannya sebagai karyawan minimarket. Hingga saat ini ia belum mencari pekerjaan baru. Kalau pun ke depan Mukidi cari pekerjaan lagi, menjadi karyawan minimarket mungkin tidak akan lagi menjadi pilihan utamanya.

“Ceritanya kan ke depan akan cari kerja baru lagi nih, apakah pilihannya akan menjadi karyawan minimarket lagi?” tanya saya satire.

“NGGAK,” tegas Mukidi. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda