DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra mendesak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh segera menertibkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA).
Desakan ini muncul setelah ESDM Aceh menerbitkan surat Nomor 302.2.12.4/296 tertanggal 4 September 2023, yang memerintahkan penghentian sementara seluruh kegiatan operasi produksi KPPA. Namun, di lapangan KPPA diduga masih beroperasi meski belum memenuhi kewajiban administrasi.
“Faktanya, aktivitas tambang masih berjalan. Padahal mereka wajib menyampaikan RKAB 2023, dokumen Rencana Reklamasi, Rencana Pascatambang, menempatkan jaminan reklamasi, hingga laporan LKPM triwulan. Jika tidak dipenuhi, maka IUP Produksi KPPA harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi,” kata Edy dalam keterangan tertulis, Minggu (14/9/2025).
Menurutnya, aktivitas KPPA tanpa RKAB melanggar Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2023 yang mewajibkan setiap perusahaan tambang memiliki dokumen tersebut sebelum beroperasi. “Tanpa persetujuan RKAB, kegiatan operasional bisa dianggap ilegal sesuai Pasal 7 ayat (1),” tegasnya.
GeRAK meminta aparat penegak hukum turun tangan mengusut dugaan tambang ilegal ini. Edy juga menilai jika aktivitas KPPA dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Aceh.
“Kami mendesak ESDM bersama kepolisian menangkap pelaku tambang ilegal ini. Jika tidak, kami menduga ada pembiaran. Jangan sampai hukum dijadikan bahan mainan untuk kepentingan tertentu. Kalau tidak ditindak, kami akan menyurati Satgas Tambang sebagaimana komitmen Presiden Prabowo untuk memberantas tambang ilegal,” ujar Edy.
Selain kasus KPPA, GeRAK juga menyinggung polemik rekomendasi teknis (Rekomtek) pada aktivitas tambang emas di aliran Sungai Woyla yang dilakukan PT Magellanic Garuda Kencana (MGK).
Bupati Aceh Barat sebelumnya meminta perusahaan tersebut menghentikan kegiatan sebelum mengantongi rekomtek dari Balai Wilayah Sungai Sumatera I.
“Kami mendukung sikap Bupati, namun harus ada dasar hukum yang jelas. Jika aturan menyebut perusahaan tanpa rekomtek wajib berhenti total, maka itu harus ditegakkan,” kata Edy.
Ia mendesak Pemkab Aceh Barat bersama DPRK, Balai Wilayah Sungai, dan Dinas ESDM Provinsi Aceh segera duduk bersama mencari solusi.
“Jangan biarkan persoalan ini berlarut-larut, karena menyangkut kepastian hukum dan kenyamanan investasi di Aceh Barat,” tambahnya.
GeRAK juga menyoroti maraknya aktivitas pengambilan material di aliran Sungai Krueng Meurebo, Pante Ceureumen, dan Woyla. Edy menegaskan semua perusahaan, baik pemegang IUP maupun galian C, harus ditindak jika tidak memenuhi kewajiban administratif.
“Fenomena pembiaran hanya akan merusak iklim investasi dan memperlihatkan lemahnya penegakan hukum,” pungkasnya.