Jubir Pemerintah Aceh : belum ada rencana menerapkan hukum Qishash
Font: Ukuran: - +
Reporter : haris
Dialeksis.com, Banda Aceh--- Juru bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani atau dikenal dengan SAG, menegaskan bahwa Pemerintah Aceh hingga saat ini belum ada rencana menerapkan hukum Qishash atau hukuman mati bagi pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan.
"Pemerintah Aceh belum ada rencana untuk menerapkan hukum Qishash. Masih wacana yang berkembang dalam diskusi. Itupun masih sebatas pembicaraan norma norma hukum yang ada" tegas SAG kepada Dialeksis, Jumat (16/03/2018).
Meski demikian diakui bahwa dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh terbuka peluang untuk menerapkan hukum Qishash tersebut.
" Memang secara norma hukum ada diatur dalam UU Pemerintah Aceh (UUPA). Tepatnya pasal 125 tentang Hukum Jinayah. Disitu disebutkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh mencakup juga hukum jinayah. Hukum Jinayah itu kan hukum pidana. Nah, Aceh hingga saat ini belum memiliki Qanun tentang Qishash (Hukuman Mati) . karena itu perlu riset yang panjang dulu. Kita belum tahu apakah kondisi sosial masyarakat Aceh menghendaki pelaksanaan Qishash. Jadi perlu kajian mendalam. Ini masih wacana yang sangat prematur sebenarnya" ujarnya.
Disisi lain, SAG juga mengkritik pemberitaan media nasional dan internasional yang menafsirkan hukum Qishash sebatas hukuman pancung atau pemenggalan kepala.
"Qishash jangan ditafsirkan pancung atau penggal semata. Tapi itu lebih kepada pelaksanaan hukuman mati. Hukuman mati itu dalam pelaksanaannya kan bermacam macam. Teknisnya beragam di lapangan. Tergantung kesepakatan masyarakat, hasil riset dan kajian akademis." Kritik SAG.
Ketika ditanyakan apakah Aceh kemungkinan akan menerapkan hukum Qishash dalam waktu dekat, SAG menampik hal tersebut. Sebab hal tersebut masih memerlukan tahapan dan proses panjang.
"Masih panjang prosesnya. Perlu buat kajian akademis dulu. Kemudian riset lapangan dulu untuk melihat apakah pelaksanaan hukuman itu bisa menekan angka kejahatan. " tuturnya.
Dalam Pasal 125 UUPA disebutkan pada ayat (1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. Kemudian ayat (2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Lalu pada ayat (3) disebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Dikutip dari laman Rumah Fiqih Indonesia, Secara istilah, Qishash didefinisikan sebagai diperlakukannya pelaku kejahatan sebagaimana dia memperlakukan hal itu kepada korbannya. Jadi Qishash itu kurang lebih bermakna hukuman bagi pelaku kejahatan yang prinsip dasar ditegakkannya berdasarkan kesetaraan bentuk kejahatannya. Prinsipnya membunuh dibunuh, melukai dilukai, merusak dirusak dan memotong dipotong.
Orang yang melakukan pembunuhan nyawa orang lain, maka hukumannya secara qishash dibunuh juga. Orang yang melukai orang lain, maka hukumannya secara qishash dilukai juga. Tentu saja kedudukan, kadar, nilai dan tingkat lukanya disamakan dengan apa yang telah dilakukannya.Dengan bahasa lain, hukum qishash itu adalah hukum berdasarkan kesetaraan dan kesamaan.
Qishash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat permaafan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang wajar. (ris)