Perusahaan Langgar HAM, Walhi Aceh Tawarkan Metode Advokasi Baru
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Diskusi umum di Cafe Kopi Darat, Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat (12/3/2021). [Foto: Akhyar/Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh melalui hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa pola kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa lalu di sektor Sumber Daya Alam (SDA) di Aceh ialah dengan melakukan perampasan lahan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, pembunuhan hingga pengusiran paksa.
Merespons hal tersebut, Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir mengatakan, terkait dengan lima pola pelanggaran HAM masa lalu itu, ternyata ada beberapa pola yang masih dilakukan hingga saat ini.
Berdasarkan pengalamannya dalam kerja-kerja advokasi yang dilakukan Walhi Aceh, ia mengaku menemukan kasus-kasus yang bermasalah hingga menjurus ke sektor pelanggaran HAM.
Tidak hanya di sektor lapak secara umum seperti lapak minyak, emas, batubara, dan lain-lain, bahkan, kata dia, di sektor perkebunan dalam praktik pelepasan lahan juga terjadi hal yang sama.
“Yang pada akhirnya, pada praktik pelepasan lahan ini, terjadinya pengusiran masyarakat. Apakah pengusiran dalam sektor ekonomi sebagai wilayah pengelolanya, atau pemukimannya yang hilang,” jelas pria yang akrab disapa Nasir Buloh saat menjadi pembicara dalam diskusi umum di Cafe Kopi Darat, Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat (12/3/2021).
Ia menyebutkan, salah satu faktor penyebab yang sering terjadi ialah karena tidak adanya atau terbatasnya akses data informasi kepada masyarakat dengan kehadiran investasi yang dimainkan oleh investor selaku tangan kanan negara dalam mendongkrak ekonomi.
“Pola-pola pelanggaran HAM yang kawan-kawan KontraS temukan di masa lalu itu juga ikut hingga saat ini. Tidak hanya di sektor tambang, di sektor perkebunan juga, contoh kasus di Aceh Tamiang yang teman-teman LBH advokasi sampai sekarang masih belum selesai. Kemudian, di Aceh Barat, di Nagan Raya, di Aceh Selatan, di Aceh Singkil, Subulussalam yang baru-baru ini juga dihebohkan dengan HGU perpanjangan,” ungkap Nasir.
Ia menyebutkan, dasar pola atau praktik-praktik pelanggaran HAM di sektor Sumber Daya Alam yang dilakukan masih sama, tetapi dengan seragam dan bentuk yang berbeda.
“Pelanggarannya itu murni pendekatan investasi, dan disayangkan pula, negara ikut terlibat sebagai aktornya juga. Yaitu dengan dihadirkan regulasi-regulasi yang memudahkan para investor melakukan investasi di lapangan,” ungkap Nasir Buloh.
Nasir mengatakan, terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi pintu masuk berpotensinya terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM di masa depan.
Oleh karena itu, ia menawarkan solusi dalam melakukan advokasi jenis baru yaitu dengan pendekatan pasar. Karena, kata dia, pendekatan itu terkadang lebih efektif ketimbang pendekatan hukum seperti menggugat ke pengadilan.
“Beberapa bulan lalu, kami pernah melaporkan perusahaan ke Proper. Mereka lebih takut Proper ketimbang lainnya. karena kenapa, ini bicara berkaitan dengan sertifikat, rapor mereka di mata publik dan pasar, bahkan di mata internasional. Kalau rapor mereka merah, penjualan mereka juga tidak akan laku,” jelas dia.
“Beda halnya dengan pendekatan hukum, apakah berbentuk gugatan ke pengadilan atau lainnya, mereka akan lebih santai menyikapi pola-pola advokasi kita ini,” pungkas Nasir Buloh.