Selasa, 22 April 2025
Beranda / Berita / Aceh / Soroti Lambannya Qanun Pertambangan Rakyat, APRI Aceh Selatan: Marwah Mualem dan UUPA Dipertaruhkan

Soroti Lambannya Qanun Pertambangan Rakyat, APRI Aceh Selatan: Marwah Mualem dan UUPA Dipertaruhkan

Minggu, 20 April 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Ketua DPC Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Tapaktuan - Ketua DPC Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal, mengkritik lambannya pembahasan rancangan Qanun Pertambangan Rakyat. 

Ia menilai keterlambatan ini tak hanya mencederai janji politik Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem, tetapi juga berpotensi meruntuhkan marwah kekhususan Aceh yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

"Sudah berulang kali Mualem menyampaikan komitmen untuk segera membahas qanun ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam secara legal, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Tapi kenyataannya, naskah akademik pun belum rampung," ujar Delky dalam keterangan tertulis kepada Dialeksis, Minggu (20/4/2025). 

Menurut Delky, kondisi ini menunjukkan lemahnya kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang terkesan berjalan di tempat. Ia bahkan menyarankan agar Mualem mengevaluasi, atau bila perlu, mencopot kepala dinas yang tidak mampu menjalankan arahan gubernur.

"Kalau bicara soal naskah akademik, ini bukan persoalan rumit. Pemerintah bisa melibatkan akademisi dari berbagai kampus di Aceh atau lembaga profesional. Tidak ada alasan untuk menunda," katanya.

Delky menegaskan, sebagai pengendali Partai Aceh yang memiliki kekuatan mayoritas di parlemen, Mualem seharusnya bisa memerintahkan kadernya untuk bekerja ekstra menyegerakan pembahasan qanun tersebut. Jika tidak, katanya, publik bisa menilai Mualem tidak konsisten terhadap komitmennya kepada rakyat.

"Jangan sampai masyarakat mempertanyakan, apa sebenarnya makna kekhususan UUPA itu? Di daerah lain yang tidak memiliki kekhususan seperti Aceh, wilayah pertambangan rakyat dan izin-izinnya sudah berjalan. Tapi Aceh malah tertinggal," ujarnya.

UUPA, jelas Delky, telah mengatur secara eksplisit kewenangan Pemerintah Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk tambang rakyat. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 156, serta diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015.

Namun hingga kini, Qanun Pertambangan Rakyat masih sebatas wacana. Meski sudah masuk dalam program legislasi daerah (Prolegda) 2024–2029, belum ada sinyal kuat bahwa qanun ini akan segera disahkan.

"Kalau terus ditunda, jangan salahkan publik kalau curiga ada kepentingan korporasi yang bermain. Kepentingan yang memang tak ingin rakyat ikut mengelola tambang," kata Delky.

Ia juga mewanti-wanti, jangan sampai saat qanun akhirnya rampung, seluruh wilayah pertambangan (WP) sudah terlanjur diklaim sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) oleh perusahaan besar. "Kalau sudah begitu, qanun itu hanya jadi cek kosong untuk rakyat," ujarnya.

Delky berharap agar Mualem sebagai Panglima Rakyat Aceh tak membiarkan janji tersebut menguap begitu saja. 

"Waktu kita tinggal tujuh bulan lagi di tahun ini. Kalau belum ada anggaran, tinggal dialokasikan. Jangan sampai rakyat hanya mendapat janji, sementara wilayah tambang sudah dikapling habis," pungkasnya. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar