kip lhok
Beranda / Analisis / Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong

Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong

Kamis, 18 Agustus 2022 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Gambar ilustrasi. [Foto: Tirto]

DIALEKSIS.COM - Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di dalam kegiatan pertambangan, terdapat potensi kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Potensi kerusakan muncul sebagai sifat dari kegiatan penambangan yang dapat mengubah bentang alam sehingga berdampak pada terjadinya perubahan lingkungan hidup secara fisik, kimia dan biologi. 

Menurut Hakim (2014) meski disatu sisi aktivitas industri pertambangan memang memiliki dampak positif, seperti membuka daerah terisolir, sumber pendapatan asli daerah, membuka lapangan pekerjaan hingga andalan devisa negara. Namun tak kalah penting adalah efek negatif keberadaan industri pertambangan diakui menimbulkan dampak cukup serius terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Pertambangan lebih sering dipahami sebagai aktifitas lebih banyak menimbulkan permasalahan dari pada manfaat, mulai dari mengganggu kesehatan, konflik perebutan lahan, terjadinya kerusakan lingkungan, hingga areal bekas pertambangan yang dibiarkan terlantar. Maka disimpulkan, maka eksploitasi pertambangan ujung akhir jika pengoptimalan sumber daya alam lainya seperti pertanian, perikanan, peternakan sudah habis dinikmati umat manusia.

Jika ditinjau dari sisi aspek sosial, keberadaan  sarat dengan konflik antar warga, pencemaran air dan udara, hingga meningkatnya sentimen sosial antara penduduk lokal dengan warga pendatang. Memahami dampak adanya eksploitasi pertambangan, salah satunya menambang batubara, Purwanto (2015) menyatakan konflik di masyarakat muncul dalam bentuk unjuk rasa karena terganggunya ruas jalan oleh truk pengangkut batubara, rusaknya jalan, terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Selain itu pemikiran lainnya, menurut Raden (2010), konflik dimasyarakat sebagian besar juga dipicu oleh masalah limbah yang keberadaannya mengganggu sumber air minum , serta masalah sosial paling umum, rendahnya serapan jumlah tenaga kerja lokal yang diterima di perusahaan serta masalah ganti rugi lahan masyarakat.

Melihat efek negatif eksplorasi dan eksploitasi tambang yang saling berkelindan dengan efek positifnya, Pemerintah Indonesia lantas menegaskan pentingnya keseimbangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan manusia dengan mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU ini dibentuk untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

Namun faktanya, eksplorasi tambang di Indonesia dalam perkembangannya menyisakan masalah tidak hanya pada bentang alam sekitar, namun konflik sosial serius antara masyarakat dan korporasi tambang.

Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Luasan konflik pertambangan sepanjang tahun 2020 saja sudah mencapai 714.692 hektar atau setara dengan tiga kali luas Kota Hongkong, jika dijumlahkan sepanjang 2014-2020 maka luasan konflik mencapai 1.640.440 hektar atau setara dengan tiga kali luas Pulau Bali.

Selanjutnya »     Berdasarkan catatan akhir tahun 2020 JAT...
Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda