kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Melegalkan Tanaman Ganja, Tapi Kapan?

Melegalkan Tanaman Ganja, Tapi Kapan?

Selasa, 10 Januari 2023 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Cannabis. [Foto: iStock]

Segi hukum

Dari berbagai sumber yang berhasil Dialeksis.com dapatkan, Konvensi Tunggal Narkotika diadakan di New York pada tanggal 24 Januari hingga 25 Maret 1961.

Dalam Konvensi itu dirumuskan bahan-bahan apa saja yang termasuk ke dalam kategori narkotika. Konvensi tersebut menyatakan tanaman ganja masuk ke dalam kategori narkotika, yaitu narkotika golongan I.

Artinya, penggunaan ganja dibatasi secara eksklusif dan dibenarkan hanya untuk tujuan medis serta perkembangan ilmu pengetahuan yang terbatas, terhadap produksi, manufaktur, ekspor, impor, peredaran, perdagangan, pemakaian dan kepemilikannya.

Menurut Wahyu Andrianto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam tulisanya yang dimuat mediahukum online, mengurai panjang lebar soal sejarah, hukum dan adanya rekomendasi dalam persoalan ganja.

Dalam tatanan hukum, persoalan narkotika setelah Indonesia merdeka, narkotika diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971. Sedangkan Undang-Undang yang mengatur mengenai narkotika di Indonesia untuk pertama kali adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.

Narkotika kemudian diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika. UU ini tidak merumuskan kategorisasi atau penggolongan zat psikoaktif dan hanya menjelaskan bahwa tanaman ganja merupakan jenis napza yang penggunaannya terbatas untuk tujuan medis serta penelitian ilmiah.

Dalam perkembangannya, UU Nomor 9 tahun 1976 kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam UU ini, tanaman ganja masuk ke dalam narkotika golongan I, dimana penggunaannya sangat dibatasi dan hanya untuk tujuan penelitian.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. UU Narkotika ini tidak lagi mengenal pembedaan antara psikotropika dan narkotika.

Menurut UU Nomor 35 tahun 2009, semua unsur ganja diklasifikasikan sebagai narkotika golongan I, bersama dengan jenis zat psikoaktif lainnya seperti heroin, kokain dan metamfetamin. Oleh karena itu, ancaman hukuman terkait dengan penggunaan ganja, dirumuskan secara komprehensif dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, di antaranya sebagai berikut:

Orang yang menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar;

Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila narkotika golongan I tersebut beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon. Untuk narkotika bukan dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar;

Ancaman pidana dengan pemberatan dijatuhkan untuk barang bukti lebih dari 5 gram dengan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga);

Tidak hanya pengguna, seluruh ancaman pidana bagi orang yang kedapatan memproduksi, mengimpor, mengekspor narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila narkotika golongan I tersebut dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling banyak 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Selain itu juga dijelaskan jeratan hukuman bagi orang yang menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

Demikian dengan ancaman sejumlah hukuman lainya dalam persoalan narkotika. Selain mengurai sisi hukum, Wahyu Andrianto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, juga menyampaikan kemanfaatan hukum dalam penggunaan ganja, serta rekomendasinya soal ganja.

Soal rekomendasi, Wahyu menuliskan, pada tanggal 3 April 2017 Menteri Kesehatan (Nila Moeloek) menanggapi Kasus FAS. Menteri Kesehatan, pada intinya menyatakan bahwa penggunaan ganja kemungkinan sama halnya dengan penggunaan morfin.

Keduanya bukan untuk menyembuhkan melainkan penghilang rasa sakit. Pernyataan dari Menteri Kesehatan ini sangat bermakna dan relevan hingga saat ini. Oleh karenanya Wahyu memberi catatan rekomendasi.

Perlu dilakukan riset secara mendalam mengenai manfaat ganja dalam bidang medis dan kesehatan. Pernyataan Menteri Kesehatan tersebut disampaikan pada tahun 2017 (5 tahun yang lalu).

Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang medis serta kesehatan berkembang pesat. Hasil riset dapat memberikan sumbangsih keilmuan mengenai pemanfaatan ganja secara proporsional dan sesuai kaedah ilmiah dalam bidang medis dan kesehatan. Sehingga, dapat dihindari terjadinya penyalahgunaan ganja.

Ganja bukan untuk menyembuhkan, tetapi dapat diposisikan sebagai penghilang rasa sakit. Artinya, dalam hal ini perlu dioptimalkan layanan medis dan kesehatan yang berbentuk paliatif (palliative home care) bagi pasien dengan stadium terminal.

Hal ini selaras dengan Compassionate Use of Medical Cannabis Pilot Program Act yang diterapkan di Negara Bagian Illinois USA, dimana pada section 10 menyatakan bahwa penggunaan ganja dalam bidang medis dapat diberikan terhadap penderita penyakit terminal, salah satu jenis penyakitnya adalah syringomyelia.

Hingga saat ini, pelayanan medis dan kesehatan di Indonesia masih menitikberatkan pada aspek kuratif. Sudah saatnya, aspek paliatif mendapatkan perhatian agar dapat lebih memberikan pelayanan yang optimal dan dapat dijangkau oleh orang yang membutuhkannya.

Misalnya dengan menyediakan layanan paliatif yang dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia di berbagai wilayah dan menyediakan layanan paliatif yang secara finansial dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia (misalnya, memperluas area layanan paliatif yang ditanggung oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional).

Mewujudkan regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum mengenai penggunaan ganja dalam bidang medis dan kesehatan, khususnya dalam layanan paliatif (palliative home care).

Selanjutnya »     Sisi Agama Islam Bagaimanan pandangan I...
Halaman: 1 2 3 4
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda