DIALEKSIS.COM | Opini - Hingga Rabu (24/9/2025), Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) belum melaksanakan sidang paripurna pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P) Tahun 2025. Padahal, sesuai ketentuan Pasal 316 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengesahan APBD Perubahan harus dilakukan paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir, yakni 30 September 2025.
Keterlambatan ini bukan sekadar soal teknis administratif, melainkan mencerminkan kontestasi politik dan kepentingan dalam tubuh lembaga legislatif dan eksekutif.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya pelaksanaan program prioritas pada triwulan IV, termasuk serapan Dana Otsus dan belanja strategis lainnya.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, keterlambatan pengesahan APBA-P tidak lepas dari indikasi politisasi anggaran oleh sebagian pimpinan dan anggota DPR Aceh.
Sejumlah Pokok Pikiran (Pokir) Ketua dan Anggota DPR Aceh justru diakomodir oleh eksekutif dalam APBA-P, sementara aspirasi anggota lainnya ditolak dengan berbagai alasan teknis. Praktik ini menimbulkan kesan kuat bahwa pokir hanya dijadikan sarana untuk menciptakan proyek yang menguntungkan pribadi dan kelompok tertentu, bukan berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan.
Dalam perspektif sosiologi politik, anggaran publik bukan hanya instrumen teknokratis, tetapi juga arena kuasa dan negosiasi politik. Pokok-pokok pikiran (pokir) anggota dewan, yang semestinya merupakan kanal partisipasi konstituen, seringkali berubah menjadi komoditas politik. Ia menjadi alat tawar-menawar, bahkan jatah kekuasaan yang tidak lepas dari relasi patronase.
Hal ini patut diduga sebagai upaya memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aparat Penegak Hukum (APH) didesak untuk menelusuri lebih lanjut indikasi penyalahgunaan kewenangan tersebut.
Fenomena ketika pokir tertentu diakomodir, sementara yang lain ditolak dengan alasan teknis, mengindikasikan adanya asimetrisasi kuasa dalam parlemen. Relasi representasi yang mestinya egaliter justru tersubordinasi pada aktor kuat (strong man) yang memonopoli alokasi anggaran. Ini sesuai dengan teori elite (Mosca, Pareto, Mills) yang menyebut bahwa dalam sistem politik, kendali sumber daya cenderung terkonsentrasi pada segelintir elite, sementara yang lain terpinggirkan.
Politisasi Anggaran dan Risiko Sosial
Politisasi APBA-P tidak sekadar merugikan tata kelola pemerintahan, tetapi juga melahirkan dampak sosial berlapis, seperti ketidakadilan distribusi pembangunan akan berdampak konstituen yang diwakili anggota dewan tertentu akan merasa diabaikan, menciptakan kesenjangan sosial antarwilayah.
Erosi kepercayaan publik warga yang menilai bahwa APBA bukan lagi amanah rakyat, melainkan instrumen kepentingan kelompok. Ketidakpercayaan pada lembaga politik bisa memicu sikap apatis bahkan resistensi.
Ini akan memicu potensi konflik horizontal, jika masyarakat menilai adanya diskriminasi pembangunan berbasis patronase politik, maka ketegangan sosial di tingkat lokal bisa meningkat.
Sehingga degradasi legitimasi parlemen DPR Aceh sebagai representasi rakyat berisiko kehilangan otoritas moral ketika dianggap tunduk pada logika rente.
Salah satu contoh nyata adalah program pengadaan TV interaktif untuk Dayah Tipe A senilai Rp 18 miliar yang bersumber dari pokir DPR Aceh. Program ini dinilai tidak memiliki urgensi, tidak sejalan dengan kebutuhan mendasar pendidikan dayah, dan berpotensi hanya menjadi proyek gagah-gagahan.
Kebijakan tersebut jelas bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penghematan dan Efisiensi Anggaran, yang menegaskan agar setiap rupiah anggaran negara digunakan secara hemat, tidak boros, serta diarahkan pada program prioritas nasional.
Bertentangan dengan Program Asta Cita Presiden
Ketika pokir anggota dewan bertentangan dengan Asta Cita Presiden, maka problemnya bukan hanya soal internal Aceh, melainkan juga disharmoni kebijakan pusat-daerah. Dalam perspektif sosiologi politik, ini mencerminkan ketegangan struktural antara negara (state) dan daerah (local power). Ketegangan ini berpotensi berujung pada intervensi pusat melalui sanksi administratif, bahkan penundaan pengesahan APBA-P.
Konsentrasi pengelolaan pokir pada segelintir elite parlemen adalah bentuk oligarkisasi legislatif. Mekanisme kolektif yang mestinya menjadi ruh parlemen justru berubah menjadi arena kooptasi. Fenomena ini adalah bentuk patron-client relation yang ekstrem, di mana anggota lain terpaksa tunduk atau diam karena terhalang daya tawar politik.
Lebih jauh, sejumlah pokir yang masuk dalam APBA-P dinilai tidak mendukung Program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Apabila ini terbukti, maka Kemendagri dalam tahap evaluasi akan memberikan koreksi keras dan berpotensi menunda lebih lama pengesahan APBA-P.
Sesuai Pasal 373 UU 23/2014, Menteri Dalam Negeri berwenang memberikan sanksi administratif kepada pemerintah daerah yang menyusun APBD tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak mendukung kebijakan nasional.
Bahaya Konsentrasi Anggaran pada Sosok Strong Man
Politisasi anggaran di Aceh semakin berbahaya ketika pengelolaan pokir tersentral pada sosok tertentu yang dianggap kuat di internal parlemen. Esensi parlemen adalah kebersamaan dan kolektivitas, bukan menyerupai perusahaan pribadi yang sewenang-wenang menjarah hak anggota lain yang juga memiliki tanggung jawab konstitusional terhadap rakyat di dapil mereka.
Indikasi penjarahan dan keserakahan terlihat dari bagaimana anggaran dikooptasi oleh segelintir pihak. Sementara itu, anggota dewan lain seolah kehilangan daya dobrak untuk memperjuangkan hak-hak konstituen yang telah mereka wakili. Situasi ini melahirkan pertanyaan kritis, apakah anggota DPRA hanya akan berdiam diri ketika hak-hak konstituen dirampas oleh kelompok yang merasa berkuasa penuh atas legislatif dan mengontrol semua jalannya anggaran?
Jika situasi ini dibiarkan, solidaritas internal DPR Aceh bisa runtuh. Anggota yang terpinggirkan bisa memandang kelompok dominan sebagai common enemy. Gejolak internal legislatif bukan hanya soal konflik politik, tetapi berpotensi menghambat kerja-kerja legislasi dan pengawasan yang seharusnya dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Apabila APBA-P tidak disahkan tepat waktu, maka akan memiliki risiko hukum dan administratif, antara lain Pemerintah Aceh hanya dapat menggunakan APBA Induk 2025 hingga akhir tahun, Seluruh rencana kegiatan tambahan, pergeseran, dan pemanfaatan SILPA otomatis batal, Dana transfer pusat berpotensi tidak terserap karena tidak terakomodasi, sehingga program prioritas masyarakat otomatis terhenti. Dan ini berdampak Pemerintah Aceh dan DPRA berisiko mendapat teguran hingga sanksi administratif dari Kemendagri dan jika ditemukan indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan pokir, maka APH dapat menindaklanjuti sebagai dugaan tindak pidana korupsi.
Publik di Aceh menilai praktik politisasi anggaran ini sangat berbahaya. Politisasi anggaran yang menguntungkan pribadi dan kelompok harus segera dihentikan. Kalau dibiarkan, masyarakat Aceh yang jadi korban karena program penting tidak terlaksana.
Politisasi anggaran di Aceh adalah bagian dari sindrom demokrasi prosedural, rakyat memilih wakil, tetapi wakil justru menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sempit. Secara sosiologis, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya.
Sudah saatnya DPR Aceh dan Pemerintah Aceh kembali ke etos representasi sejati, mengelola anggaran sebagai amanah rakyat, bukan alat negosiasi politik.
Dan Kemendagri menegakkan aturan dengan mencoret program tidak prioritas dan menjatuhkan sanksi administratif. Jika ada indikasi proyek pokir hanya untuk keuntungan pribadi, maka aparat hukum wajib turun tangan.
Demo masyarakat ke gedung dewan beberapa waktu lalu harusnya menjadi pelajaran penting agar parlemen dan eksekutif menjalankan amanah rakyat dengan adil, merata, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Aceh tidak boleh terjebak dalam siklus patronase dan rente anggaran. APBA adalah instrumen pembangunan dan keadilan sosial, bukan panggung oligarki. Anggaran adalah amanah rakyat, bukan alat tawar-menawar politik, apalagi untuk kepentingan pribadi. Jangan sampai anggota DPRA menutup mata atas hak konstituen yang dirampas oleh segelintir orang yang merasa berkuasa.
Jika parlemen masih menyerahkan ruang demokrasi kepada strong man, maka masyarakat Aceh akan terus menjadi korban dari praktik politik yang kian menjauh dari substansi keadilan.
Parlemen harus kembali menjadi rumah bersama rakyat, bukan panggung bagi strong man, dan bukan perusahaan privat para elite. [**]
Penulis: Firdaus Mirza (Dosen FISIP USK)