kip lhok
Beranda / Opini / Menerka Arah Revisi UU Polri

Menerka Arah Revisi UU Polri

Selasa, 16 Juli 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Kemal Fasya

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Fisipol Universitas Malikussaleh. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM | Opini - Gagasan revisi UU Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 tahun 2002 menemukan momentum kebenarannya (moment of truth) saat ini. Revisi itu akan menguji kembali profesionalitas Polri sebagai institusi negara yang menjalankan peran keamanan dalam negeri, penjaga ketertiban umum, dan pelindung publik dari parampasan hak dan kesewenangan-wenangan sosial.

Momen itu bertemu muka dengan kasus praperadilan kasus pembunuhan Vina Cirebon 2016, yang akhirnya melepaskan tersangka Pegi Setiawan yang selama ini dianggap sebagai aktor utama. Kasus ini membuka kotak pandora di tengah ruang publik yang menunggu ending kasus setelah film rilis, Vina Sebelum 7 Hari, menjadi box office. Seakan mengikuti logika publik, film itu mengarahkan kasus ini kembali dibuka. Problemnya, polisi menjadi reaktif dengan bergerak cepat menutup prasangka publik yang semakin berkembang.

Profesionalitas polisi?

Gugurnya status tersangka Pegi Setiawan dari putusan praperadilan PN Bandung membuktikan polisi sudah melakukan salah tangkap. Sebelumnya “teka-teki silang” telah dimulai ketika polisi menetapkan bahwa hanya ada satu tersangka tersisa dari tiga orang yang dianggap belum tertangkap, yaitu Pegi Setiawan.

Namun, reportoir kasus ini kembali melebar, termasuk fakta baru bahwa yang menjadi terpidana selama ini pun bukan pelaku sebenarnya pembunuhan dua remaja di Cirebon itu. Aep yang menjadi saksi kunci yang menyebabkan delapan terpidana dan Pegi menjadi tersangka juga menghilang tiba-tiba. Banyak pihak menyebutkan bahwa Polda Jawa Barat telah bekerja tidak profesional, bertindak sewenang-wenang, dan mencederai HAM dengan menahan dan menyebabkan orang menjadi terhukum tapi tidak disertai spirit pro-justicia yang adekuat.

Di tengah kasus itulah revisi UU No. 2 tahun 2002 yang menjadi bagian dari inisiatif DPR, melahirkan kontroversial dalam pembahasannya. Pembahasan di masa akhir anggota DPR RI periode 2019-2024 juga memunculkan pertanyaan enigmatis, apalagi draf yang dipersiapkan tidak terlihat lebih baik dibandingkan pengganti UU No. 28/1997, yang merupakan warisan Orde Baru itu.

Menurut LBH, perluasan norma hukum terkait kewenangan Polri mengarah kepada kinerja yang semakin sewenang-wenang (excessive). Terkait kinerja yang terlihat dari implementasi UU No. 2/2002 juga masih meninggalkan banyak permasalahan yang belum mengapung, baik yang dibahas oleh publik atau dikaji dalam penelitian tentang profesionalitas Polri, apalagi dengan mekanisme pengawasan yang lemah.

Artinya pembesaran kewenangan Polri melalui revisi UU Polri ini akan menjadi ruang despotisme dan represif yang kembali mengulang kasus Sengkon dan Karta yang dituduh membunuh pasangan suami-istri Sulaiman-Situ yang fenomenal pada 1974 sebagai kasus salah tangkap, atau kasus Ferdy Sambo terkait penyelidikan sesat kematian Brigadir Joshua, 8 Juli 2022.

LBH juga membuat catatan kritis tentang kinerja kepolisian buruk dalam penanganan kasus. Sepanjang tahun 2019 tercatat bahwa kepolisian terlibat pada 67 kasus kematian yang tidak patut secara hukum (extra-judicial killing), terutama bagi orang-orang yang ditersangkakan melawan hukum. Pada Januari-Mei 2024, lembaga hukum tertua yang masih eksis itu menyebutkan ada 35 kasus tahanan mengalami penyiksaan, 21 kasus pemerasan, dan tujuh kasus kekerasan seksual.

Komnas HAM juga mencatat pada 2023 bahwa kepolisian merupakan institusi yang mendapatkan pengaduan pelanggaran HAM, 771 kasus dari 2.753 laporan (https://bantuanhukum.or.id, 12 Juli 2024). Pada tahun yang sama, Kompolnas juga mendapatkan 1.098 laporan tentang pelayanan buruk yang diberikan Polri (Kompas.id, 4 Oktober 2023).

Titik buta revisi

Revisi UU Polri ini seolah menjadi satu paket yang disedang dikejar memasuki era pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Revisi itu seolah melihat telah selesainya revisi UU Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 11/2021 mengganti UU No. 16/2004), dan juga menjelang revisi UU TNI No.34/2004 yang menjadi titik “revolusioner” menjadikan TNI sebagai tentara profesional.

Kritik atas TNI di era Orde Baru yang membangun kultur militerisme dan terjebak pada dwi-fungsi (atau malah multifungsi) ABRI telah mampu terkanalisasi melalui UU No.34/2004 dianggap salah satu kemenangan reformasi. Ketika kepolisian masih tersangkut oleh bisnis para jenderal yang kemudian dikenal dengan “rekening gendut” (tempo.co, 29 Juni 2010), TNI telah mampu mereposisi dan mereaktualisasi para jenderalnya untuk tidak terlibat lagi pada “bisnis-bisnis ilegal”.

Itu salah satunya adalah karena sisi progresif yang dihasilkan dari UU TNI baru. Merevisi hanya akan menjadikan ruang progresif ini akan mengalami pelambatan profesional, bahkan mengarah pada regresif. Itu pula membuat kaum sipil mulai lazim diusulkan sebagai Menteri Perhananan dan Keamanan, berbeda dengan tradisi Orde Baru yang serba militer. Meskipun inisiasi itu sudah dilakukan sejak Abdurrahman Wahid diangkat sebagai presiden (20 Oktober 1999 “ 23 Juli 2003).

Sisi kemunduran itu terlihat nyata pada draf revisi RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu yang dianggap akan mengarah pada involusi demokrasi adalah menambah batas umur pensiun polisi. Dalam pasal 30 ayat (2) draf revisi usia pensiun polisi 60 tahun dan bisa mencapai 65 tahun untuk pejabat fungsional. Revisi ini bahkan melebihi umur pensiun ASN pejabat administrasi, pejabat fungsional pertama, ahli muda, dan peneliti ahli utama (PP No. 17/2020).

Pilihan memperpanjang usia pensiun polisi ini juga harus dilihat secara psikologis, apakah dengan usia demikian, polisi masih gesit, cekatan, teliti, dan priman dalam menangani kasus? Jika diperbandingkan dengan kinerja polisi profesional di Asia Tenggara, usia pensiun polisi Indonesia 60-65 tahun lebih tua dibandingkan Singapore (55-56 tahun), Thailand (60 tahun), dan Vietnam (55-62 tahun). Bahkan jika dilihat pada usia terlama, pensiun polisi pascarevisi bisa lebih tua dibandingkan negara antidemokrasi seperti Myanmar (62 tahun).

Demikian pula revisi dengan memperluas kewenangan penyadapan yang dimiliki kepolisian terhadap publik juga telah memasuki ruang suveleinsi yang selama ini hanya dimiliki oleh Badan Intelejen Negara (BIN). Hal ini bisa menjadi ruang pan-opticon aktivitas sipil yang bahkan tidak termasuk terduga/tersangka kejahatan khusus seperti terorisme atau korupsi. Bahkan UU KPK terbaru yang telah membonsai kewenangan KPK melakukan penyadapan (UU No. 19/2019) malah diperluas dalam revisi UU Kepolisian ini sehingga kewenangan ini bisa menimbulkan moral hazard baru pada pemanfaatannya.

Terakhir, revisi RUU Kepolisian ini kembali ingin meneguhkan peran Pengamanan Swakarsa yang kontroversial di dalam PP 43/2012. Dalam PP itu disebutkan “Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa yang selanjutnya disingkat Pam Swakarsa adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Hal ini akan mengingatkan kembali atas pembentukan beberapa Pam Swakarsa menjelang dan pascareformasi yang mengakibatkan terjadinya kasus pengadilan jalanan dan persekusi. Ini tentu kontraproduktif dengan upaya menghadirkan wajah kepolisian yang ramah dan mengabdi kepada masyarakat. Ini salah satu sisi yang bisa membuat benturan antar-sipil yang diinisiasi oleh kepolisian.

Kita tentu gembira dan terenyuh dengan sikap polisi muda yang mendapat penghargaan Hoegeng Awards seperti yang baru-baru ini dirilis. Ada AKBP Sri Wahyuni yang mendapatkan penghargaan polisi berintegritas, Iptu Made Ambo menjadi polisi berdikasi, Bripka Septinus Arui sebagai polisi yang melayani di tapal batas dan pedalaman, AKP Reza Pratama Rhamdani Yusuf sebagai polisi inovatif, dan AKBP Rio Wahyu Anggoro (Kapolres Bogor) yang ditahbiskan sebagai polisi pelindung perempuan dan anak.

Kita tentu ingin mendapatkan kisah-kisah yang lebih haru dari kepolisian Indonesia melalui regulasi yang memperkuat fungsi dan peran mereka. Jangan sampai revisi UU Kepolisian menyebabkan institusi yang melaksanakan HUT Bhayangkara ke-78 pada 1 Juli lalu, terjebak dalam sengkarut masalah baru, dan berkelindan semakin memurukkan.

Penulis: Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Fisipol Universitas Malikussaleh

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda