kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / IUP Berakhir Saat Pilkada, Aktivis Khawatir Dimanfaatkan sebagai Momen Tawar-menawar

IUP Berakhir Saat Pilkada, Aktivis Khawatir Dimanfaatkan sebagai Momen Tawar-menawar

Rabu, 31 Juli 2024 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi tambang. Foto: REUTERS/Ilya Naymushin/File Photo


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebanyak 51 perusahaan di Aceh kini mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) untuk komoditas mineral dan batubara. Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di berbagai kabupaten, meliputi Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Jaya, dan Aceh Tamiang.

Menariknya, salah satu perusahaan batubara, PT Energy Tambang Gemilang, baru saja berakhir masa IUP-nya pada 24 Juli 2024 lalu. Perusahaan yang berlokasi di Nagan Raya ini sebelumnya mendapatkan izin pada 28 Juli 2023.

Selain itu, PT Mifa Bersaudara juga akan menghadapi akhir masa IUP pada 13 April 2025 mendatang. Perusahaan batubara ini telah beroperasi dengan izin sejak 30 Maret 2011.

Berakhirnya masa izin usaha pertambangan perusahaan-perusahaan ini terjadi di tengah transisi menjelang Pilkada Aceh yang akan berlangsung pada November 2024. Menurut Aktivis Lingkungan dan Investasi TM Zulfikar, situasi ini dapat dimanfaatkan sebagai momentum tawar-menawar antara sumber daya alam dan kepentingan politik.

"Hubungan sumber daya alam dengan politik itu sangat berpengaruh, tukar menukar antara kekuasaan dan kepentingan usaha itu sangat mungkin terjadi," ujar Zulfikar kepada Dialeksis.com, Rabu (31/7/2024).

Zulfikar mencontohkan, seorang pejabat mungkin saja meminta bantuan pengusaha tambang untuk mendukung pencalonannya sebagai kepala daerah. Dalam situasi tersebut, pasti ada tawar-menawar, karena pengusaha tidak mungkin mau bekerja tanpa imbalan.

"Makanya publik harus lebih jeli melihat rekam jejak calon pemimpin, seperti apa sosoknya, perlu identifikasi mendalam terhadap seorang calon pemimpin," tuturnya.

Sependapat dengan TM Zulfikar, mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M Nur, menilai bahwa sumber daya alam adalah agenda utama dalam politik. Politik dan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan.

"Mau bicara apapun bentuk pembangunannya tetap SDA sumber daya bakunya. Contoh, anggaran negara dihabiskan untuk buka kebun baru, bangun gedung baru, itukan SDA berkaitan dengan tanah. Politik dan SDA tidak bisa dipisahkan, satu mata pisau," ucapnya.

Terkait pengaruh izin usaha pertambangan terhadap kepentingan politik, M Nur menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki pengaruh besar pada kebijakan, termasuk SOP turunan perizinan.

"Proses perizinan IUP itu lintas sektor saling berhubungan, satu sistem berkoneksi dengan sektor lain," sebutnya.

Ia menambahkan bahwa perizinan adalah kesatuan sistem dari hulu ke hilir, dari level kabupaten, provinsi hingga nasional. Satu saja tidak terisi dalam sistem maka tidak bisa diinput.***

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda